REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar politik Refly Harus, menilai unsur pelanggaran etik dari ketua DPD Irman Gusman telah memenuhi syarat. Hal itu dilihat dari penetapan tersangka Irman dalam dugaan kasus korupsi yang menimpanya.
Refly meminta, BK DPD untuk bekerja sesuai dengan tata tertib dan kode etik. BK meski memutuskan perkara ini secara adil, tanpa harus memikirkan proses hukum yang sedang dijalani oleh Irman.
''Kalau bicara pemberhentian sebagai ketua, sudah terpenuhi. Tapi apakah dilanjutkan proses pemberhentian sebagai anggota, maka harus dibuktikan lebih lanjut pelanggaran etik berat dan tidak harus menunggu keputusan hukum tetap,'' kata Refly, usai menghadiri rapat pleno ke-2 BK DPD, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (19/9).
Sebab, kata dia, kalau harus menunggu proses hukum, itu bisa mencapai enam bulan hingga satu tahun. Untuk menilai ada tidaknya pelanggaran etik, tidak serumit menemukan kesalahan dalam pelanggaran tindak pidana.
''Harus bisa dibedakan, proses etik dan pidana. Kalau dari pidana harus ada asumsi praduga tak bersalah. Tapi kalau etik, ini sudah pelanggaran berat, ini bisa menuju pemberhentian sebagai ketua DPD,'' tegasnya.
Rapat BK sendiri berlangsung cukup alot, sebab ada beda pendapat antara yang menyatakan perlunya surat secara resmi dari KPK perihal penetapan tersangka. Atau BK bisa mengambil keputusan tanpa perlu menunggu surat dari KPK.
Usai mendengar pendapat dari dua pakar yaitu Zain Badjeber dan Refly Harun, rapat dilanjutkan tertutup dengan agenda mendengarkan keterangan Sekjen DPD, yang menginginkan rapat tertutup.