Selasa 20 Sep 2016 18:33 WIB

Aksi Antipemerintah Kongo Rusuh, 17 Tewas

Aktivis oposisi Kongo saat berdemo menuntut Presiden Joseph Kabila turun di Ibu Kota Kinshasa, Senin, 19 September 2016.
Foto: REUTERS/Stringer
Aktivis oposisi Kongo saat berdemo menuntut Presiden Joseph Kabila turun di Ibu Kota Kinshasa, Senin, 19 September 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, KINSHASA -- Polisi Kongo terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa yang menentang upaya Presiden Joseph Kabila yang mereka sebut ingin memperpanjang mandatnya, Senin (19/9). Bentrokan menewaskan setidaknya 17 orang serta menimbulkan ancaman sanksi lebih jauh dari Amerika Serikat.

Aksi protes yang diikuti ribuan orang itu, dilakukan di tengah meningkatnya tekanan lokal dan internasional agar Kabila turun setelah masa jabatannya berakhir pada Desember. Pihak oposisi menudingnya berencana memperpanjang masa jabatan dengan menunda pemilihan umum yang seharusnya digelar pada November hingga tahun depan. Namun para pendukungnya membantah tudingan ini.

"Korban tewas yang menyedihkan akibat aksi brutal dan sangat keji ini sebagai berikut: 17 tewas tiga diantaranya personel polisi," kata Menteri Dalam Negeri Evariste Boshab, dan mengutuk aksi tersebut sebagai penggunaan kekerasan untuk memicu kerusuhan dan ketidaktertiban.

Sekjen PBB Ban Ki-moon membenarkan jatuhnya korban tewas dan mendesak pasukan keamanan nasional Kongo menahan diri. Presiden partai oposisi Pasukan Reformis untuk Kesatuan dan Solidaritas (FONUS) Joseph Olenga Nkoy mengatakan 53 orang tewas dalam bentrokan itu sementara seorang petugas HAM setempat mengatakan 25 pengunjuk rasa tertembak.

Sebelumnya pada Senin, saksi Reuters menyaksikan massa membakar mayat seorang petugas polisi di Limete, pinggir kota Kinshasa, dalam aksi balas dendam atas penembakan polisi. Massa yang marah membakar kantor-kantor politikus yang setia pada Kabila dan menghancurkan poster-poster raksasa presiden, sembari berteriak dalam bahasa Prancis: "Sudah berakhir untukmu" dan "Kami tidak menginginkanmu".

Kelompok hak asasi manusia melaporkan terjadinya puluhan penahanan pengunjuk rasa dan wartawan di ibu kota maupun di Goma dan Kisangani, dimana unjuk rasa antipemerintah juga terjadi. Juru bicara pemerintah membenarkan penahanan pemimpin oposisi Martin Fayulu, yang mengalami cedera kepala saat unjuk rasa tersebut.

Hingga tengah hari, sebagian besar pengunjuk rasa telah dibubarkan dan jalanan di pusat kota yang biasanya padat menjadi sepi. Namun dalam satu pertanda kerusuhan kemungkinan masih akan terjadi, pemimpin oposisi Etienne Tshisekedi dalam pernyataannya Senin malam, menyerukan dilakukannya unjuk rasa lebih jauh.

"(Koalisi oposisi) menyerukan kepada warga Kongo mulai hari ini ke depan untuk mengintensifkan dan memperkuat mobilisasi massa setiap hari hingga 19 Desember," kata jurubicara partai UDPS yang dipimpin Tshisekedi, merujuk pada hari Kabila secara resmi turun.

Para pendukung Kabila juga merencanakan aksi dukungan akhir pekan ini, menurut pernyataan yang dikeluarkan pada Ahad.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement