REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan Israel akan mendapat keuntungan jika menyadari bahwa mereka tidak bisa secara permanen menduduki tanah Palestina.
Upaya Obama untuk mewujudkan perjanjian perdamaian Israel-Palestina mengalami kegagalan selama hampir delapan tahun masa kepemimpinannya di Gedung Putih. Upaya terakhir yang dilancarkan Menteri Luar Negeri John Kerry juga rontok pada 2014. Para pejabat AS menyampaikan kemungkinan bahwa Obama akan mengungkapkan garis besar parameter kesepakatan setelah pemilihan presiden pada 8 November dan sebelum ia meninggalkan jabatannya sebagai presiden pada Januari.
Ketika berpidato pada sidang Majelis Umum tahunan PBB untuk terakhir kalinya sebagai presiden, Obama juga mengatakan Rusia sedang berupaya memulihkan "kejayaan yang hilang" melalui pengerahan kekuatan.
Ia memperingatkan Rusia bahwa jika negara itu "terus mencampuri urusan tetangga-tetangganya...kebesaran (negara itu) akan hilang dan perbatasan-perbatasan miliknya menjadi kurang aman."
Rusia pada 2014 mencaplok semenanjung Krimea milik Ukraina setelah unjuk rasa selama berbulan bulan di Kiev, membuat Presiden Ukraina yang pro-Moskow, Viktor Yanukovich, terdepak dari jabatannya. Menyangkut persengketaan internasional seputar Laut Cina Selatan, Obama mengatakan, "Penyelesaian yang damai bagi sengketa itu seperti yang dianjurkan oleh hukum akan memberikan stabilitas lebih luas dibandingkan dengan militerisasi di batuan dan karang."
Cina menyatakan hampir seluruh Laut China Selatan sebagai wilayah miliknya. Melalui wilayah perairan itu, kapal-kapal berlalu lalang membawa komoditas dengan nilai transaksi sebesar lima triliun dolar AS (Rp 65,7 biliun) setiap tahunnya. Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga memiliki klaim di wilayah Laut Cina Selatan. Wilayah perairan itu juga diyakini kaya akan sumber daya energi dan pasokan ikan.
Pada Juli, pengadilan arbitrase di Den Haag mengatakan bahwa klaim Cina di perairan tersebut tidak sah. Kasus itu dibawa ke pengadilan Den Haag oleh Filipina. Beijing menolak untuk mengakui putusan tersebut.