REPUBLIKA.CO.ID, KINHASA -- Bentrokan terjadi saat aksi unjuk rasa menentang Preisden Kongo Joseph Kabila, Senin (19/9). Sebanyak 44 orang yang terdiri dari 37 demonstran dan enam polisi tewas dalam peristiwa itu.
Unjuk rasa terjadi setelah komisi pemilihan umum Kongo memutuskan menunda pemilihan presiden yang rencananya berlangsung pada November. Penundaan ini membuat lawan Kabila menilai hal itu dilakukan untuk terus memperpanjang kekuasaan presiden yang menjabat sejak 2001 tersebut.
Namun, demonstrasi tersebut diwarnai protes yang membuat pasukan keamanan menembak kerumunan pengunjuk rasa. Polisi kemudian juga menangkap hampir 200 orang diduga terlibat dalam kekerasan.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan pasukan keamanan menggunakan kekuatan yang berlebihan. Namun, pihak pemerintah meyakini tindakan itu dilakukan sebagai upaya yang diperlukan dan menyangkal aksi bentrokan terlebih dahulu dipicu oleh polisi.
Kerusuhan yang terjadi beberapa hari terakhir ini membuat hampir semua sekolah, khususnya di Ibu Kota Kinhasa ditutup sementara waktu. Demikian dengan angkutan umum yang juga berhenti beroperasi karena kekhawatiran situasi terus memburuk.
Amerika Serikat (AS) mengatakan Pemerintah Kongo yang dipimpin Kabila harus mengambil langkah meredakan kekerasan. Pihaknya juga menyarankan agar sanksi dijatuhkan bagi mereka yang terlibat dalam pelanggaran.
Presiden Prancis Francois Hollande menyalahkan Pemerintah Kongo. Ia meminta agar konstitusi di negara itu dihormati dan pemilihan umum tetap diselenggarakan tahun ini.
Baca juga, Aksi Antipemerintah Kongo Rusuh, 17 Tewas.