REPUBLIKA.CO.ID, Dari kejauhan, menara masjid dengan perpaduan warna biru dan putih ini, terlihat sangat jelas dan anggun. Namanya, Masjid Jami Nurul Iman. Masjid yang berada di Jl Pawenang I RT 02 RW 05, Kelurahan Cisaranten Binaharapan, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung, memang mudah dikenali lantaran menaranya.
Tinggi menara masjid yang dibangun atas swadaya masyarakat setempat itu mencapai 33 meter. Bentuk menara yang memiliki tiga umpak ini, mengacu pada Masjid Madinah Arab Saudi. “Menara ini terinspirasi oleh Masjid Madinah,” kata H Yus Rustandi, tokoh masyarakat sekaligus pengurus DKM Masjid Jami Nurul Iman kepada Republika.
Masjid ini, kata Yus Rustandi, direnovasi pada 2001 dan selesai pada 2003. Sebelum direnovasi, masjid dengan luas 14 meter x 14 meter ini, merupakan masjid biasa seperti umumnya di perkampungan.
Renovasi, dilakukan setelah masyarakat menyadari bahwa kondisi masjid sudah tak layak lagi. Karena itu, warga pun bergotong-royong merenovasi masjid tersebut. “Renovasi total masjid ini biayanya dari swadaya masyarakat. Warga bersama-sama membuat kotak amal di rumahnya masing-masing dan kemudian disetorkan setiap seminggu sekali,” ujar dia.
Semangat gotong-royong masyarakat di tempat ini dalam membangun masjid patut diteladani. Selain mengumpulkan dana dari uang kencleng, kata Yus, masyaralat pun bergantian selama dua tahun menyediakan makan untuk para pekerja bangunan yang berjumlah tujuh orang.
Setiap hari, kata dia, warga bergantian menyediakan makan dan kopi bagi pekerja yang tengah membangun masjid tersebut. “Alhamdulilah selama dua tahun kami bersama-sama membangun masjid ini,” kata dia.
Setelah masjid ini berdiri dengan megah. Bahkan, semangat beribadah masyarakat di tempat ini pun semakin meningkat. Menurut Ketua DKM Masjid Jami Nurul Iman, H Ato Sutisna, kegiatan keagamaan di masjid ini tak hanya sebatas melaksanakan shalat wajib berjamaah.
Kegiatan lainnya, seperti pengajian dan mendengarkan cemarah juga rutin dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan dewasa. “Pengajian ibu-ibu dilaksanakan setiap selesai shalat Jumat. Sedangkan kaum laki-laki penggelar pengajian pada Kamis malam,” kata dia.
Kegiatan keagamaan di masjid ini tak hanya milik orang dewasa. Anak-anak pun aktif mengukiti kegiatan mengaji. Di TPA Masjid Jami Nurul Iman, kata Ato, ada sebanyak 136 peserta didik (anak-anak).
Mereka setiap hari mengikuti kegiatan belajar membaca Alquran yang dibimbing oleh sembilan pengajar yang kesemuanya warga setempat. Kegiatan belajar membaca Alquran di tempat ini dibagi menjadi dua. Dari ba’da Dzuhur hingga Ashar dan dari ba’da Magrib hingga menjelang Isyaa.
Uniknya, anak-anak di TPA ini, tak dipungut biaya. Sebagai gantinya, anak-anak ini membawa barang bekas seperti plastik bekas minuman mineral dan sejenisnya. Sampah rumahtangga ini, menjadi pengganti uang iuran bagi mereka.
Menurut penuturan Ketua RW 05, Asyari Asna, iuran TPA dengan sampah plastik ini, dimaksudkan sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak agar peduli terhadap lingkungan hidup. Selama ini, kata dia, sampah plastik seperti bekas minuman air mineral dibuang begitu saja.
“Kami mencoba mengajarkan kepada anak-anak bahwa sampah juga harus dikelola. Ini merupakan bentuk kepedulian terhadap lingkungan hidup,” kata dia.
Sampah plastik yang disetorkan oleh anak-anak peserta TPA ini, sambung Asyari, kemudian dijual. Hasil penjualan barang bekas tersebut, kata dia, kemudian dikumpulkan dan bisa untuk membayar honor guru ngaji anak-anak.
Ia mengakui, uang dari hasil penjualan ‘sampah’ tersebut memang tak seberapa. Namun dengan cara seperti itu anak-anak peserta TPA bisa memanfaatkan sampah.
“Pengumpulan sampah plastik seperti ini sudah berlangsung lama. Dan sampai saat ini tetap kami pertahankan karena nilai positifnya sangat dirasakan,” ujar dia.
Selain kegiatan keagamaan, DKM Masjid Jami Nurul Iman juga menjadi motor dalam pemberdayaan masyarakat. Menurut Asyari, salah satu kegiatan pemberdayaan masyarakat yang sangat dirasakan manfaatnya adalah budidaya ikan lele.
Kegiatan tersebut, sudah lama dilakukan masyarakat setempat. Hasil dari budidaya lele ini, akan terus dikembangkan dan menjadi salah satu kegiatan ekonomi masyarakat yang bisa diandalkan. “Keterbatasan lahan ataupun modal memang selalu ada. Namun kita dituntut berkreatif dalam kondisi yang sangat terbatas,” tutur Asyari.