Kamis 22 Sep 2016 07:38 WIB

Kisah Rapper Jamaika Jalani Kehidupan Sebagai Mualaf di Inggris

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Andi Nur Aminah
Tanya Muneera Williams
Foto: theinspirationroom
Tanya Muneera Williams

REPUBLIKA.CO.ID,LONDON -- Keputusan memeluk Islam seseorang selalu memicu rasa ingin tahu orang lain. Selain cerita Dubes Ingris untuk Arab Saudi, Simon Collis, rapper hip hop asal Jamaika, Tanya Muneera Williams, juga menjalani hidup sebagai mualaf di Inggris.

Tumbuh sebagai anak dari orang tua Jamaika era 80-an, Islam sama sekali tidak terpikir di benak Tanya. Walau dibesarkan di gereja, ia memilih meninggalkannya lantaran memiliki pertanyaan tentang ras dan gender yang tidak ditemukan jawabannya.

Tanya banyak menikmati musik jazz dan reggae di ruangan yang penuh dupa sambil mendiskusikan agama, filsafat dan arti kehidupan. Kebiasaan itu yang mendorongnya merenungkan kehidupan Malcolm X, dan membaca buku feminis Maroko Fatima Mernissi.

"Perjalanan mereka menuju pencerahan menggelitik saya, sehingga saya ingin merasakan apa yang mereka miliki," kata Tanya seperti dilansir Gulf Today, Kamis (22/9).

Ia memutuskan memeluk Islam pada 16 Juni 2005, tiga pekan sebelum serangan teror terjadi di Inggris pada 7 Juli. Ia tidak menyadari keputusannya memeluk Islam akan memiliki dampak serius, ia menjadi prihatin akan keselamatan orang-orang yang dia cintai.

Masih lekat di ingatan bagaimana masyarakat meresponsnya sebelum memeluk Islam. Kini ia menghadapi sikap pengecualian dari orang sekitar. Bagi Tanya, sikap itu lebih mengganggu daripada kata Islamofobia yang terang-terangan diserukan di internet.

Bahkan, fakta lain kalau ia berkulit hitam, kerap menambahkan diskriminasi yang harus diterimanya dari sesama Muslim itu sendiri. Terlepas sejarah panjang Islam di Afrika, Tanya merasa orang-orang Timur Tengah dan Asia merasa kalau mereka merupakan Muslim sejati.

"Walau Al Quran mengajarkan berbeda, kita tidak bisa memastikan sikap orang sehari-hari agar sejalan, sehingga rasisme tetap berlaku," ujar Tanya.

Setelah memutuskan untuk berjilbab, ia mulai bertanya apakah feminisme benar-benar mengekspresikan hak-hak seorang wanita. Selain itu, selalu ada pikiran kalau keputusannya memeluk Islam dan memakai jilbab, merupakan paksaan dari ayah atau suaminya.

Hip Hop, menjadi komunitas yang ia rasakan selalu merangkul dan inklusif. Malah menyambut siapa pun mereka yang menghormati budaya. Melalui genre ini, ia mampu menembus stereotip yang ditularkan pemerintah dan bahkan memunculkan harapan dibenaknya tentang kemajuan Islam di Inggris.

"Satu harapan untuk masa depan Inggris adalah meningkatnya keragaman Muslim, tidak cuma untuk orang berkulit hitam, perempuan, cacat, orang tua, tapi benar-benar refleksi dari kekayaan yang luar biasa yang dapat dirangkul satu agama," kata Tanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement