REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme, Noor Huda Ismail menyatakan, peran keluarga dalam pencegahan aksi terorisme masih terbilang minim. Padahal, ia meyakini keluarga dapat membantu mengurangi bibit teroris hingga membatalkan niat teroris melancarkan aksinya.
"Padahal saya lihat justru peran keluarga sangat penting. Misal dalam film saya disebutkan dengan hubungan baik keluarga menjadi batal jadi teroris. Peran internal keluarga untuk aktif melawan tindakan radikal menjadi sangat penting, terutama peran para ibu. Ini yang belum," katanya, kamis (22/9).
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian itu menilai penanganan teroris hanya melibatkan unsur aparat pemerintah. Sehingga peran keluarga belum dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam pencegahan terorisme.
"Selama ini kampanye yang dilakukan negara dalam penanganan teroris sangat jauh, jauh dari orang biasa untuk terlibat karena penegakan pakai aparat dan densus," ujarnya.
Padahal, ia memandang pola pencegahan terorisme seperti itu tak lagi efektif. Sebab, aksi terorisme sejak tahun 2008 sampai sekarang dilakukan oleh mantan narapidana terorisme. Dari situ, menurutnya, ada yang tidak benar dengan proses deradikalisme.
"Ini jadi muter-muter aja kayak daur ulang. Penjara jadi tempat mereka belajar. Karena program rehabilitasi macet, masalah kelebihan penghuni lapas, dana tidak ada. Dan ketika di masyarakat mereka dipojokan tak ada sistem sistematis, akhirnya mereka balik lagi ke kelompoknya untuk aktualisasi diri," jelasnya.