REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum menjadi sebuah film bertajuk Athirah, Mira Lesmana selaku produser film tersebut mengungkapkan bahwa di penghujung 2014 lalu, Riri Riza memperkenalkannya dengan novel Athirah yang ditulis oleh Alberthiene Endah. Buku yang bercerita tentang perempuan Bugis Makassar, Athirah, yang adalah ibunda dari Bapak Jusuf Kalla.
Menurutnya, novel Athirah begitu menarik. Potret seorang ibu yang harus menghadapi kenyataan hidup yang pahit tapi terus mencari cara untuk mempertahankan harga diri dan keluarganya. Sebuah kisah yang sama sekali tidak mengelu-elukan kehebatan sebuah nama besar ‘Kalla’, justru memperlihatkan luka keluarga yang biasanya justru ‘ditutup-tutupi’.
Riri Riza, yang telah memfilmkan begitu banyak cerita dari berbagai pelosok Indonesia, malah belum pernah membuat cerita di tanah kelahirannya, Sulawesi Selatan. "Siapa sangka, keluarga Kalla akhirnya menghubungi kami, dan menyampaikan bahwa Bapak Jusuf Kalla berharap Riri yang akan menyutradarai film ini," kata Mira.
Sebagai orang Sulawesi Selatan, Riri dinilai sangat bisa memahami betul kehidupan Bugis Makassar yang ada dalam kisah ini. “Miles Films menyambut kesempatan mengadaptasi novel dan kisah nyata ini. Dan di awal 2015 Riri langsung terbang ke Sulawesi Selatan untuk memulai proses riset dan penulisan skenario bersama Salman Aristo,” ujarnya.
Athirah adalah kisah dedikasi dan pengorbanan seorang ibu. Siapa pun dapat merasakan kekuatan cinta Athirah untuk keluarganya. Kisah Athirah di film ini tidak hanya menggambarkan kehidupan budaya pada suatu masa namun juga bisa menjadi cerminan perempuan Indonesia masa kini.
”Athirah itu kalau menurut kami tetap sangat aktual untuk dilihat hari ini. Apa yang dulu terjadi pada Athirah masih juga dialami oleh banyak perempuan saat ini. Hanya saja, bisa dikatakan perempuan modern sekarang masih punya pilihan, tindakan apa yang akan mereka lakukan jika mengalami kondisi seperti itu," kata Mira.
Namun, di saat yang sama, Mira menambahkan banyak juga perempuan tidak bisa berbuat apa-apa. Entah itu karena tekanan agama, tekanan keluarga, atau lain sebagainya. Karena mereka tetap merasa bahwa poligami tetap tidak bisa ditolak. "Walaupun ini ceritanya masa lalu, sebagai perempuan kita bisa berkaca, what would I do, what should I do?” ungkapnya.