REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gedung apartemen Kalibata City menjulang tinggi di Jalan Kalibata, Jakarta Selatan. Siapa sangka, di pinggir apartemen mewah itu, ada sejumlah tenda dari terpal yang berdiri di atas trotoar.
Tenda itu milik warga RT 09 RW 04 Kelurahan Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan. Tenda telah dipasang sejak 1 September 2016 malam, setelah dua unit eskavator menghancurkan puluhan bangunan di bantaran rel kereta api hingga rata dengan tanah.
Hanya ada lima orang di dalam tenda yang panjangnya sekitar 15 meter. Meskipun siang hari, tidak banyak cahaya yang menerobos ke dalam tenda. Di dalam tenda, para pengungsi Rawa Jati sedang berbincang sambil merebahkan badan.
“Kami nungguin tenda. Enggak berani ninggalin tenda sampai kosong, takut tiba-tiba digusur sama Satpol PP,” ujar Nurlela, pengungsi Rawajati yang sudah tinggal belasan tahun di tanah milik pemerintah itu belum lama ini.
Sebelum digusur, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan sudah menyediakan tempat tinggal bagi 60 Kepala Keluarga (KK) yang digusur, yakni di rumah susun Marunda, Jakarta Utara. Tetapi, sebagian besar warga menolak direlokasi ke rusun Marunda karena jaraknya yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka di Rawa Jati.
Selain dianggap jauh, rusun Marunda dipandang tidak layak huni karena atapnya bocor. Mereka juga khawatir tidak bisa melanjutkan mata pencaharian mereka sebagai pedagang. “Dagangan kita gimana? Jualan di sana mah enggak akan laku, siapa yang mau beli? Kalau di sini kan laku banget,” kata ibu beranak tiga tersebut kepada Republika.co.id.
Baca juga, Warga Rawa Jati Tolak Dipindahkan, Ini Tanggapan Ahok.
Nurlela juga merisaukan sekolah bagi ketiga anaknya. Pasalnya, jarak rumahnya di Rawa Jati dengan sekolah sangat dekat. Bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Menurut kabar yang ia dengar, jarak antara sekolah dan rusun Marunda cukup jauh. Ia juga menyangsikan kualitas sekolah di Marunda.
Walaupun tidur beralaskan aspal dan makan seadanya, para pengungsi masih kekeuh untuk bertahan di bawah tenda tersebut. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak pun rela tinggal di pinggir jalan dengan keadaan yang tidak layak.
Suami Nurlela, Agus, mengaku tidak akan meninggalkan tenda pengungsi walaupun tidak nyaman. “Kita betah kok di sini, ya walaupun makan cuma pakai kangkung sama tahu. Yang pasti kami enggak akan menyerah,”
Agus mengaku mereka mendapat banyak bantuan dari berbagai lembaga nonpemerintah dan mahasiswa. Bantuan yang didapat para pengungsi adalah genset, dapur mini, serta bahan makanan. Namun, pria yang berprofesi sebagai tukang ojek online ini mengaku tidak mendapat sedikit pun uluran tangan dari pemerintah.