REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta untuk menghentikan segala bentuk kebijakan penggusuran warga selama beberapa bulan ke depan. Hal itu bertujuan untuk memudahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta melakukan kegiatan pemutakhiran data pemilih secara akurat.
"Pemda DKI harus menghentikan sementara berbagai kebijakan penggusuran hingga selesainya penyelenggaraan Pilkada 2017," ujar Deputi Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Sunanto, kepada Republika.co.id, Senin (26/9).
Dia menuturkan, penggusuran sudah pasti bakal mengubah peta kependudukan di daerah-daerah yang terdampak kebijakan tersebut. Adanya perpindahan warga yang tidak terorganisir secara massif dari satu ke lain lokasi juga akan menyulitkan petugas KPU DKI melakukan pemutakhiran data pemilih di Ibu Kota.
KPU DKI sendiri rencananya akan mengumumkan data pemilih tetap (DPT) di seluruh wilayah Jakarta pada Desember ini. Jika Pemprov DKI masih saja terus melakukan penggusuran setelah adanya pengumuman DPT tersebut, kata Sunanto, hal tersebut sudah barang tentu bakal menimbulkan masalah baru.
Pasalnya, kebijakan semacam itu tidak saja berpotensi mengacaukan data pemilih yang telah disusun dengan susah payah oleh KPU, tapi juga dapat merusak proses pelaksanaan Pilkada DKI 2017.
Oleh karena itu, dia mendesak Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyetop sementara (memoratorium) segala bentuk kebijakan pemindahan paksa warga dari tempat tinggal mereka saat ini.
"DPT itu harusnya sudah final. Jadi, jangan sampai KPU harus bekerja dua kali hanya untuk mengoreksi data pemilih yang jadi korban penggusuran setelah Desember nanti. Pemprov DKI juga sebaiknya jangan lagi mengambil kebijakan politis yang dapat memperkeruh proses Pilkada 2017," ucap Sunanto.
Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta, Sumarno, sebelumnya menuturkan bahwa penggusuran yang terus berlangsung di sejumlah kawasan di Jakarta bakal menyulitkan para petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) menjalankan tugas mereka di lapangan.
"Karena, penggusuran menyebabkan perpindahan warga secara sporadis (yang tak terpola) ke tempat-tempat lain," katanya.
Menurut Sumarno, kesulitan akan dihadapi PPDP ketika harus mendata para korban penggusuran yang pindah ke tempat indekos atau rumah-rumah kontrakan. Sebab, mereka yang melakukan perpindahan semacam itu dapat mengganggu akurasi data pemilih pada Pilgub mendatang, karena tempat tinggal mereka sudah tidak sesuai lagi dengan alamat yang tertera di KTP.
"Akan berbeda kondisinya dengan warga korban penggusuran yang direlokasi secara terprogram oleh pemerintah ke beberapa rusun (rumah susun) yang ada, seperti Rusun Marunda atau Rusun Rawa Bebek, misalnya. Mereka itu masih bisa didata dengan mudah oleh PPDP," ujarnya.