REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan menegaskan bahwa keringanan yang diberikan kepada masyarakat atau wajib pajak yang akan mengikuti amnesti pajak bukan berupa perpanjangan periode pertama dengan tarif tebusan dua persen, namun lebih kepada pelonggaran kelengkapan dokumen administrasi. Artinya, wajib pajak yang membayar uang tebusan setelah lewat batas periode pertama yakni 30 September, tetap dikenakan tarif tebusan yang berlaku di periode kedua amnesti pajak sebesar tiga persen.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi menjelaskan, sepanjang sisa periode pertama program pengampunan pajak pihaknya masih menunggu penyerahan Surat Pernyataan Harta (SPH) oleh wajib pajak. Tarif tebusan tetap dikenakan dua persen selama uang tebusan melalui yang diwakili oleh Surat Setoran Pajak (SSP) dibayarkan sebelum batas waktu periode pertama. Sementara kelengkapan dokumen bisa menyusul setelahnya, meski periode pertama habis.
"Jadi yang tarif dua persen itu tetap harus dibayar sampai dengan akhir bulan ini. Jadi yang diperpanjang hanya lampiran dari dokumen-dokumen harta yang disampaikan. Jadi kalau, Pak boleh nggak nanti bayarnya setelah tanggal 30 (September)? Ya boleh namun tarifnya tiga persen. Bukan yang dua persen. Yang jelas lampirannya sampai dengan 31 Desember, boleh," kata Ken di Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Senin (26/9).
Sementara Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo menambahkan, kebijakan ini tertuang dalam Perdirjen nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penerimaan Surat Pernyataan pada Minggu Terakhir Periode Pertama Penyampaian Surat Pernyataan. Beleid ini membuka peluang bagi wajib pajak untuk menyusulkan lampiran yang ada dalam SPH, namun tetap diwajibkan membayar uang tebusan terlebih dahulu. Ia merincikan, data yang wajib diisi di awal hanya sebatas poin-poin terkait laporan harta di awal.
"Kolom 2, 3, 4, 5 untuk harta, dan kolom 15, 16, 17, dan 5C untuk utang. Itu yang wajib diisi bagi WP yang ingin sampaikan namun dia belum dapat lengkapi semua isian. Jadi kalau dilihat di formulir, ada informasi soal harta, misal sertifikat ada nomor sertifikat dan lokasi di mana, itu sementara boleh tidak diisi. Namun dalam proses berikutnya setelah SPH diberikan harus ada dilakukan klarifikasi," ujar dia.
Baca juga: Sumut Klaim Kumpulkan Dana Amnesti Pajak Terbesar di Luar Jawa