REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Walhi Jawa Timur menilai penyelesaian Kasus Salim Kancil memiliki sejumlah kejanggalan dan jauh dari nilai keadilan. Direktur Eksekutif Walhi Jatim Rere Christanto mengatakan, Tim Advokasi Salim Kancil mencatat beberapa kejanggalan.
Pertama, Sidang berlarut-larut dan seringkali tidak tepat waktu. Kedua, saksi yang dihadirkan oleh JPU tidak kompeten.
Ketiga, kasus ini didudukkan hanya sebagai kasus kriminal biasa, sehingga mata rantai mafia pertambangan dan kerusakan lingkungan tidak terbaca. Keempat, masih banyak pelaku lain yang belum ditetapkan sebagai tersangka.
Kelima, vonis putusan hakim terhadap tersangka tidak memberi rasa keadilan bagi seluruh keluarga korban. "Dengan lima kejanggalan tersebut, Walhi Jawa Timur menegaskan kembali bahwa penanganan dan vonis kasus Salim Kancil tersebut akan menjadi tolok ukur negara dalam penyelesaian konflik agraria dan pemulihan krisis bencana ekologis yang terjadi di pesisir selatan Jawa Timur ke depan," kata Rere.
Rere mengatakan dengan berkaca dari kasus Salim Kancil ini di dapatkan sebuah kesimpulan awal, bahwa peristiwa pembunuhan Salim Kancil dapat kembali terulang di wilayah pesisir Lumajang ataupun di wilayah lainnya di seluruh pesisir Selatan Jawa, dan tempat lainnya di Indonesia.
"Yang harus diingat adalah, puluhan teroris yang menganiaya Tosan dan membunuh Salim Kancil tersebut tidak beroperasi sendiri untuk tujuan-tujuan sentimental yang bersifat pribadi. Kedua korban dianiaya karena melakukan penentangan atau protes terbuka terhadap operasi penambangan di wilayah kehidupannya," kaatanya.
Rere menambahkan meskipun operasi penambangan yang dilakukan oleh Kepala Desa Selok Awar-Awar bersifat illegal, namun kegiatan tersebut dilaksanakan secara terbuka dan masif. Karena itu pelaku penambangannya boleh jadi berada dalam pelayanan perlindungan oleh aparat kepolisian dan pemerintah setempat.