Selasa 27 Sep 2016 20:44 WIB

LBH Jakarta: Rencana Penggusuran Bukit Duri Penuh Intimidasi

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Ilham
 Petugas Satpol PP menempelkan Surat Peringatan (SP) ketiga pada rumah warga Bukit Duri, Jakarta, Selasa (20/9).
Foto: Republika/ Wihdan
Petugas Satpol PP menempelkan Surat Peringatan (SP) ketiga pada rumah warga Bukit Duri, Jakarta, Selasa (20/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melaksanakan penggusuran di Kampung Bukit Duri besok, Rabu (28/9). Kawasan Bukit Duri yang akan digusur adalah kawasan RW 9, 10, 11 dan 12 seluas 1,7 hektare.

Di atas lahan tersebut berdiri sekitar 320 bangunan dan ditempati oleh kurang lebih 384 keluarga. Pemprov DKI menyebut penggusuran tersebut untuk melaksanakan proyek normalisasi Ciliwung. Namun, warga tidak mendapatkan secara jelas informasi proyek normalisasi ciliwung.

“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memberikan informasi secara transparan. Bahkan, kami tidak pernah diajak musyawarah, pemerintah hanya sekedar melakukan sosialisasi dan mempresentasikan proyek rumah susun.” ujar salah satu warga Bukit Duri, Santi Napitupulu, Selasa (28/9).

Berdasarkan Undang-Undang tentang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, musyawarah yang tulus merupakan salah satu unsur yang wajib dipenuhi oleh pemerintah sebelum melakukan penggusuran. “Kami menilai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan penggusuran secara paksa yang mana tidak memenuhi seluruh kewajibannya sebelum menggusur sebagaimana diatur dalam UU Ekosob," kata perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Citra Referandum.

Dalam pantauan LBH Jakarta yang melakukan wawancara dengan warga dan berbagai temuan di lapangan terjadi berbagai intimidasi dan pelanggaran sebelum penggusuran dilakukan. Pertama, warga merasa mengalami intimidasi dari aparat pemerintah dan kepolisian, hampir setiap hari pada aparat dan polisi berkeliling di kampung.

Kedua, adanya upaya paksa dari aparat pemerintah dan kepolisian memaksa warga mengambil rumah susun. Ketiga, adanya keterlibatan TNI dalam rencana penggusuran. TNI juga terlihat berkeliling menyebarkan surat peringatan.

Keempat, warga yang memilih untuk pindah ke rumah sewaan dihalang-halangi oleh aparat pemerintah setempat dan memaksa warga untuk memilih rumah susun. Kelima, adanya tindakan pemerintah yang tidak menghormati proses peradilan yang sedang berlangsung di PTUN dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Menurut dia, akibat bentuk-bentuk intimidasi yang terjadi warga mengalami tekanan. Pantauan LBH Jakarta warga Bukit Duri tidak akan melawan petugas, warga akan bersikap damai saat penggusuran terjadi.

LBH Jakarta mengecam keras bentuk-bentuk tindakan intimidasi yang terjadi. Hal ini memperlihatkan justru pemerintah dan aparat keamanan yang melakukan tindakan-tindakan meresahkan. Seharusnya aparat kepolisian, memberi perlindungan dan memberikan rasa aman bagi warga terdampak supaya tidak mengalami kekerasan bukan malah mengintimidasi warga.

Tindakan TNI yang terlibat dalam penggusuran juga telah melanggar UU TNI Nomor 34 tahun 2004. TNI diciptakan bukan untuk menggusur rakyat, tapi menjaga pertahanan negara. TNI sudah menyimpang dari fungsinya. “LBH Jakarta mendesak TNI maupun Polri tidak ikut ambil bagian dalam proses penggusuran paksa karena keterlibatannya telah melewati wewenang yang diatur dalam UU TNI maupun UU Polri,” kata Citra.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement