REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Hampir seluruh material yang digunakan untuk membangun masjid ini berasal dari Maroko, kecuali granit putih dan tempat lilin yang diimpor dari Murano, dekat Venesia. Marmernya berasal dari Agadir, kota besar di Maroko bagian barat daya, sedangkan kayu cedar didatangkan dari Atlas Tengah, sebuah desa di pegunungan Atlas, Maroko. Khusus untuk batu granit dipasok dari Tafraoute, sebuah kota di provinsi Tiznit, Souss-Massa-Draa, Maroko.
Tak kurang dari 6.000 pengrajin ulung dan pekerja bangunan dipekerjakan untuk menyulap semua material lokal tersebut menjadi dekorasi rumit yang menghiasi keseluruhan bangunan. Saat proyek telah melewati batas waktu target penyelesaian, pada awal 1990-an, pengerjaannya diintensifkan.
(Baca: Masjid Hassan II Berdiri di Tepi Perairan Atlantik)
Pada siang hari, dikerahkan sebanyak 1.400 orang. Sebanyak 1.000 orang lainnya bekerja pada malam hari. Mereka membuat mozaik-mozaik indah, mendesain lantai dan tiang dari batu dan marmer, memahat ornamen ukir turap, dan mengukir serta melukis langit-langit masjid yang terbuat dari kayu.
Masjid Hassan II dibuka bagi seluruh Muslim setiap hari pada lima waktu shalat, termasuk shalat Jumat. Ia menjadi satu dari sedikit masjid yang memperbolehkan non-Muslim masuk. Pengunjung non-Muslim juga diperbolehkan memasuki masjid dengan ditemani pemandu. Panduan disediakan dalam beberapa bahasa, termasuk Inggris. Kesempatan itu dibuka hingga beberapa kali dalam sehari.
Pemandu akan mendampingi pengunjung berkeliling masjid selama 45 menit hingga satu jam. Ada beberapa bahasa pengantar yang bisa dipilih, termasuk Inggris. Selama tur berlangsung, meski tidak diwajibkan berkerudung, pengunjung akan diminta mengenakan pakaian yang sopan atau tertutup. Mereka diperbolehkan mengambil gambar, namun tidak untuk merekam video.