Rabu 28 Sep 2016 19:54 WIB

Warga Bukit Duri Lawan Penggusuran dengan Gerakan Moral

Rep: Muhyiddin/ Red: Ilham
Sejumlah warga melakukan aksi jelang penggusuran permukiman yang terkena proyek normalisasi Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, Rabu (28/9)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Sejumlah warga melakukan aksi jelang penggusuran permukiman yang terkena proyek normalisasi Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, Rabu (28/9)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali melakukan penggusuran pada Rabu (27/9), pagi. Kali ini, yang menjadi korban adalah warga Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Pemerintah DKI mengerahkan sebanyak 1.107 personel gabungan untuk mengamankan penggusuran tersebut.

Personel gabungan dari Satpol PP, Polisi, dan TNI tersebut mulai menggelar apel sekitar 07.00 WIB. Sementara, warga juga sudah bersiaga di mulut gang menuju lokasi penggusuran. Namun, warga mengetahui bahwa setiap penggusuran yang dilakukan Pemrov DKI selalu berakhir dengan kekerasan.

Karena itu, saat rumah mereka diruntuhkan mereka hanya memutuskan untuk melawan dengan gerakan moral dalam bentuk demo budaya. Dalam demo tersebut, tampak warga hanya menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan kesedihan untuk mengetuk hati para penguasa.

“Saya gak suka kekerasan, termasuk melawan aparat. Makanya saya mohon ke rekan semua lapisan, aktivis, dan warga jangan sampai timbulkan senggolan sedikit,” ujar warga RT 06 RW 12, Kasmo (50 tahun), di lokasi penggusuran.

Pada pukul 08.00 WIB, dua alat berat berupa eskavator mulai menghancurkan perumahan warga dan hal itu berlangsung hingga pukul 12.00 WIB. Tidak ada aksi perlawanan dari warga. Karena sejak awal mereka hanya ingin melawan tanpa kekerasan. Buktinya, warga sempat mencoba melawan lewat jalur hukum.

Namun, apalah daya, ternyata Pemprov DKI Jakarta telah melanggar proses hukum yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Karena itu, penggusuran tersebut disebut sebagai penggusuran terburuk di Ibu Kota. “Ini sejarah penggusuran paling buruk. Pengadilannya tidak dihiraukan,” ujar Ketua Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi yang sudah lama mendampingi warga.

Saat penggusuran berlangsung, memang sempat ada letupan-letupan kecil yang membuat warga marah. Namun, warga saling mengingatkan untuk tidak terjadi kekerasan. “Kekerasan yang dilawan kekerasan hanya akan membuat keadaan lebih buruk,” kata Sandy.

Meskipun jalan anti-kekerasan tak dapat mengatasi semua aksi kekerasan secara langsung, kata Sandy, cara ini diyakini dapat mengubah secara perlahan pelaku dan bentuk kejahatan. “Kami sadar untuk memperoleh hasil dari gerakan anti-kekerasan tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat. Tindakan ini harus dilihat sebagai sebuah proses panjang yang mesti dilakukan terus menerus,” kata Sandy.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement