REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mulyadi (43 tahun) berdebat dengan salah satu petugas kelurahan Bukit Duri. Ia mempertanyakan kenapa bagian sebelah timur perkampungan Bukit Duri juga kena gusur proyek normalisasi Ciliwung.
Padahal, dalam bidang peta rumah permukiman sebelah timur tidak kena gusur. "Ini dari kelurahan, tuh pak maka mohon maaf belum dipindahin barang-barangnya, karena emang gak ada di sini," kata etua RT enam Bukit Duri ini, Rabu, (28/9).
Mulyadi mengatakan hal ini menjadi kecerobohan kelurahan karena tidak ada sosialisasi sebelumnya permukiman sebelah timur juga digusur. Ayah tiga orang anak ini juga menolak tinggal di Rusunawa Rawa Bebek. Ia menolak karena di Rusunawa ia harus membayar uang iuran setelah tiga bulan.
"Kalau diberikan sebagai ganti rugi kami mau," kata laki-laki yang sehari-hari bekerja di los daging Pasar Jatinegara tersebut.
Sementar itu belum ada pihak kelurahan Bukit Duri yang bisa dikonfirmasi. Tidak hanya Mulyadi yang protes karena hal ini tapi juga beberapa warga yang tinggal di permukiman sebelah timur Bukit Duri.
"Kan emang gak dikasih tahu makanya semua barang dititipin ke sebelah sini," kata salah seorang warga.
Proyek normalisasi Ciliwung yang dikerjakan langsung pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), mengorbankan ratusan bangunan di sepanjang kawasan Bukit Duri. Sampai saat ini tercatat 150 warga yang menggugat upaya normalisasi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Mereka juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, mempertanyakan keabsahan dan kewenangan surat peringatan (SP-1) yang diterbitkan Pemkot Jakarta Selatan.