REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berharap vonis yang dijatuhkan hakim kepada IAH (terdakwa terorisme anak di Medan) bertujuan dalam kerangka pemulihan. Misalnya saja IAH ditempatkan di lembaga pembinaan khusus untuk reedukasi.
"Bukan vonis yang membunuh masa depan anak, apalagi yang menyuburkan benih radikalisme yang sempat tersemai," kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh, Rabu (28/9) malam.
Dia mengatakan kasus IAH yang sekarang sedang masuk dalam proses peradilan, harus dijadikan momentum penerapan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana diatur Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Untuk itu, jaksa dan hakim harus berpedoman dan mengedepankan prinsip-prinsip restoratif justice seperti tertuang dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dalam pertimbangan dan putusannya. Apalagi, kata dia, anak sudah mengaku salah, menyesali perbuatannya, meminta maaf, dan meminta untuk dibina.
"Ini adalah momentum besar untuk menyelamatkan anak dari doktrinasi yang lebih mendalam. Jaksa dan hakim punya kewajiban untuk pemulihan," ujar Niam.
Dari hasil assesment yang dilakukan Balai Pemasyarakatan (Bapas), penjelasan yang diberikan oleh Kalapas, dan pendalaman yang dilakukan KPAI terhadap anak, menunjukkan bahwa anak masih polos. Doktrin terorisme belum terlalu masuk dan peluang untuk pemulihan sangat besar.
Seperti diberitakan sebelumnya, percobaan bom bunuh diri terjadi di gereja Katolik Statis Santa Yosep di Jalan Dr Mansyur, Medan, Ahad (28/8) sekitar pukul 08.30 WIB. Pelaku juga melakukan penyerangan terhadap pastor Albert S Pandingan (60) yang sedang berkhotbah di gereja tersebut.