REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari 750 aparat gabungan kepolisian-TNI dikerahkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penggusuran Bukit Duri, Rabu (28/9). Mereka disiapkan mengawal penggusuran kawasan pemukiman padat seluas 1,7 hektare, yaitu RW 09, 10, 11 dan 12, Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.
Di atas lahan tersebut berdiri sekitar 320 bangunan dan ditempati oleh 384 keluarga. Kedatangan ini didahului dengan provokasi verbal yang dilakukan aparat kepada warga sejak malam sebelumnya.
Menyambut masuknya alat berat, warga Bukit Duri memilih melawan aparat dan Pemprov DKI Jakarta dengan keberadaban yakni dengan melakukan pembagian bunga sambil menyanyi mulai pukul 08.00 WIB. Kini 102 kepala keluarga yang tinggal di Bukit Duri sudah tidak punya lagi tempat tinggal lagi.
"Proses penggusuran paksa ini jelas tidak manusiawi dan tidak menghargai hak manusia untuk hidup," ujar Ketua Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi kepada Republika.co.id, Kamis (29/9).
Menurut pria yang sudah lama mendampingi warga tersebut, hingga digusur secara paksa warga tidak mendapatkan secara jelas informasi mengenai proyek normalisasi Ciliwung dan warga masih menunggu proses peradilan yang masih berlangsung di PTUN.
Ia memaparkan, berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Komentar Umum PBB No. 7 tentang Penggusuran Paksa, musyawarah yang tulus merupakan salah satu unsur yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah sebelum melakukan penggusuran.
"Dengan tidak dipenuhinya syarat-syarat sebelum dilakukannya penggusuran, maka jelas penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta melawan hukum," ucap dia.
Lebih lanjut, berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB 2004/28 tentang Pelarangan Penggusuran Paksa, maka tindakan penggusuran paksa dikategorikan sebagai salah satu pelanggaran berat HAM. Karena, kata Sandy, warga yang kehilangan tempat tinggalnya seketika juga akan kehilangan hak-hak lain, seperti hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, kehilangan mata pencaharian, dan sebagainya.