REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemutakhiran produk teknologi juga menawarkan alternatif beribadah yang lebih efesien. Salah satunya ialah membaca Alquran. Ragam aplikasi Alquran bisa diperoleh dan diunduh serta dibenamkan di perangkat keras, seperti komputer, netbook, tablet, atapun ponsel pintar.
Di satu sisi, fasilitas ini memudahkan Muslim bertilawah dan menelaah Kitab Suci tersebut. Tetapi, di saat bersamaan kehadirannya me munculkan sejumlah pertanyaan. Soal paling utama ialah, apakah aplikasi tersebut dihukumi sama seperti Mushaf Alquran cetak? Wajibkah bersuci ketika menyentuh perangkat yang di dalamnya ada aplikasi itu?
Prof Muhammad Junaid bin Muhammad Nuri Ad-Dirasywi menguraikan permasalahan itu dalam artikelnya berjudul “Massu al-Ajhizat al-Iliktroniyyat Allati Yukhazzan fiha al-Quran”. Artikel yang disampaikan di sebuah seminar tentang Alquran dan kemajuan teknologi itu, berangkat dari satu titik kesepakatan. Bahwa, pada prinsipnya memegang Mushaf Alquran cetak wajib dalam kondisi suci. Pendapat ini disepakati oleh keempat imam mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Argumentasi mereka ialah maksud larangan menyentuh Alquran dalam surah al-Waqiah 79 mencakup pula fisik Mushaf. Bukan cuma Alquran yang berada di alam azali : “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” Ini juga dipertegas dalam sejumlah hadis. Beberapa riwayat menyatakan larangan menyentuh Mushaf kecuali dalam kondisi suci. Seperti penegasan yang ada dalam riwayat Tsauban. Larangan ini juga disuarakan oleh para sahabat. Ada Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Abdullah bin Umar.
Junaid kembali menguraikan tentang silang pendapat antarulama masa kini terkait hukum menyentuh atau membaca Alquran lewat aplikasi. Pendapat pertama mengatakan bahwa Alquran yang dioperasikan dalam perangkat itu, tidak dikategorikan Mushaf Alquran. Boleh memegang perangkat itu, baik saat suci atau tidak. Baik saat aplikasi itu aktif ataupun telah dimatikan.
Opsi ini disuarakan oleh sejumlah nama tokoh terkemuka di Arab Saudi, misalnya, Syekh Shalih al-Fauzan, Muhammad Shalih al-Munajjid, dan Abdurrahman bin Nashir al- Barrak. Menurut mereka, huruf-huruf Alquran yang tampil di monitor dan tersimpan dalam program bukan huruf nyata. Melainkan kodekode dari program. Ponsel pintar atau tablet terdapat aplikasi di dalamnya, tidak berubah definisi dan fungsi. Dan tidak beralih menjadi Mushaf Alquran.
Pandangan kedua tidak jauh berbeda dengan pendapat kelompok pertama. Perangkat keras itu tidak dihukumi Mushaf. Ini karena tampilan Alquran adalah wujud dari program. Begitu dinonaktifkan, maka ayat-ayat itu ikut hilang. Karenanya, tak masalah membawa perangkatperangkat itu ke kamar mandi.
Hanya saja, opsi ini menekankan agar tidak memegang layar saat aplikasi itu beroperasi. Ini pengecualian. Harus dalam kondisi suci. Tetapi, tidak masalah bila hanya memegang dan menyentuh tepi perangkat. Pendapat ini diusung oleh Syekh Sa’ad bin Abdullah al-Hamid dalam laman al-Jawab al-Kafi dan Stasiun Televisi al-Majd.
Sedangkan menurut opsi yang ketiga, ti dak boleh memegang atau membawanya jika tidak dalam kondisi suci. Ini berlaku ketika aplikasi tersebut sedang dihidupkan dan dibaca. Jika aplikasi tersebut tidak aktif, maka boleh membawa dan memegangnya tanpa harus bersuci terlebih dahulu. Pandangan ini disuarakan oleh Syekh Ahmad al-Hajji al- Kurdi. Pakar dalan Ensiklopedi Fikih. Ia juga anggota Lembaga Fatwa Kuwait.