REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri enderal Tito Karnavian menghilangkan amanat dalam serah terima jabatan dan pelantikan perwira Polri. Alasannya karena amanat hanya gitu-gitu saja.
"Saya panggil saja nanti seluruh pejabat baru-baru supaya lebih detil. Amanat kan nanti isinya gitu-gitu saja kan. Terima kasih. Setelah itu mohon dukungan kepada semua pihak. Saya ingin lebih detil," ujar Tito di Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (30/9).
Padahal sebelum pergantian tersebut beberapa pejabat tersandung dalam berbagai kasus. Kepolisian Daerah Riau misalnya saat itu telah menerbitkan surat SP3 dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (kahutlah) pada 15 korporasi.
Tidak hanya itu, kemudian muncul foto dugaan kongkow antara jajaran Kepolisian Riau bersama bos pengusaha sawit dari PT APSL. Kemudian muncul juga kasus Meranti yang menewaskan satu orang warga dan juga anggota polisi.
Lebih lanjut kemudian muncul dugaan pemerasan yang dilakukan oleh mantan direktur narkoba Polda Bali, Kombes Franky Parapat. Dugaan pemerasan dilakukannya untuk kasus narkoba dengan barang bukti dibawah 0,5 gram.
Sehingga bila sebelumnya ada pejabat yang bermasalah maka akan dengan segera melakukan teguran sebagai bentuk syok terapi, namun ada yang berbeda dari Tito. Menurutnya shock theraphy kapada pejabat-pejabat yang tersandung masalah sudah dilakukan dalam video confrence dengan jajaran kepolisian seluruh Indonesia.
"Waktu hari senin kan ada video conference ada di narkoba Bali dan Dir Narkoba Jawa Barat. Itu langsung serah terimanya di depan saya, di video conference," ujar Tito.
Sehingga menurutnya video Conference tersebut sebagai bentuk ketegasannya dalam memimpin Kepolsian RI. Sekaligus video Conference juga sebagai bentuknya sanksi sosial kepada pejabat yang bermasalah tersebut.
"Belum pernah ada serah terima direktur polda itu dilakukan di depan Kapolri. Belum pernah itu. Dan yang menonton polisi seluruh indonesia. Itu ada ketegasan sanksi sosial itu," jelasnya.