REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1459, Konstantinopel yang berganti nama menjadi Istanbul menjadi kota terbesar di Eropa. Oleh Kekalifahan Ustmaniyah, kota itu dibagi menjadi empat wilayah administratif. Sebagai sebuah kota besar pada zamannya, di Istanbul pun berdiri berbagai sarana dan prasarana publik.
Tak kurang ada 81 masjid besar serta 52 masjid berukuran sedang di kota itu. Untuk mendidik para generasi muda, tersedia 55 madrasah, tujuh asrama besar untuk mempelajari Alquran. Fasilitas sosial pun bermunculan, tak kurang lima takiyah atau tempat memberi makan fakir miskin berdiri.
(Baca: Jatuhnya Konstantinopel dan Prediksi Rasulullah)
Tiga rumah sakit disediakan untuk mengobati penduduk kota. Tujuh buah jembatan juga dibangun untuk memperlancar arus transportasi. Guna menunjukkan kejayaannya, Kerajaan Usmani membangun 33 istana dan 18 unit pesanggrahan.
Selain itu, 33 tempat pemandian umum juga telah disediakan di berbagai penjuru kota. Untuk menyimpan benda-benda bersejarah, pemerintah Usmani pun menyediakan lima museum. Pada 14 Juli 1509, Istanbul sempat diguncang gempa bumi dahsyat atau yang dikenal sebagai ‘kiamat kecil’.
(Baca Juga: Islam Ubah Wajah Kota Konstantinopel)
Ribuan bangunan yang awalnya berdiri kokoh akhirnya luluh lantak. Mulai 1510 M, Sultan Bayezid bahu-membahu membangun kembali Kota Istanbul selama 80 tahun. Hingga akhirnya, Kota Istanbul kembali tampil megah dan gagah.
Pada tahun 1727 M pada masa Ibrahim Muteferika seorang ilmuwan terkemuka di Istanbul dibuka percetakan. Seiring dengan lahirnya fatwa dari Syekh Al-Islam kerajaan, buku-buku selain Alquran, hadits, fikih, ilmu kalam dan tafsir juga mulai diperbolehkan untuk dicetak.
Sejak itulah, buku-buku tentang kedokteran, astronomi, ilmu pasti,sejarah, dan lainnya dicetak, apalagi mulai 1727 sudah mulai berdiri badan penerjemah. Sayangnya, ketika Imperium Turki Usmani memegang kendali kekuasaan, jejak peradaban yang ditinggalkan pada abad ke-8 M sampai ke-13 M tak dilanjutkan.
Daulah Usmani lebih berkonsentrasi membangun pertahanan dan armada perang untuk memperluas wilayah kekuasaan ketimbang membangun universitas dan pusat-pusat riset ilmu pengetahuan. Seiring kemunduran yang dialami Kerajaan Ottoman, Turki akhirnya berubah haluan menjadi negara sekuler pada 1923.
Di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk, sekularisme menjadi ideologi negara. Semua simbol Islam dilarang, penggunaan bahasa dan aksara Arab diganti huruf Latin. Dakwah diawasi. Bahkan, pada 1925, Attaturk melarang tarekat dan pergi haji. Pendidikan agama amat dibatasi. Pengadilan agama ditutup, hukum pernikahan Islam diganti dengan hukum positif Swedia.