REPUBLIKA.CO.ID, SOFIA -- Emilia Pechinkova, salah seorang warga Muslim dari Pomak, Bulgaria akan melangsungkan pernikahan. Wajahnya dilukis, sebagai bagian dari adat dan mengenakan pakaian tradisional yang menunjukkan ciri khas Islam.
Banyak perempuan dari Pomak yang ingin dapat terus mengenakan baju sesuai adat mereka. Namun, rezim komunis di negara itu tidak memberi toleransi terhadap ritual keagamaan apa pun, khususnya di tengah pencegahan Islam radikal.
Selain Emilia, banyak Muslimah di Bulgaria yang juga menghadapi berbagai macam pandangan sinis. Salah satunya Aishe Emin dengan hijabnya.
Seperti dilansir Newsweek, ia yang menempuh pendidikan di Universitas Sofia, Ibu Kota Bulgaria sering menarik perhatian yang tidak diinginkan. Komentar dan tatapan penuh dengan tanda permusuhan didapatkan Aishe.
Begitupun dengan suaminya, Mustafa yang juga menempuh pendidikan di universitas yang sama. Mustafa memiliki jenggot dan berusaha untuk shalat lima waktu meski berada di kampus. Hal itu membuat dirinya dianggap radikal.
Aishe dan Mustafa juga bagian dari komunitas Muslim Pomak di Bulgaria. Selama bertahun-tahun, kelompok tersebut menghadapi berbagai macam penganiayaan di era pemerintah komunis fasis.
Belum lagi baru-baru ini, serangan di Prancis dan Belgia yang mengusung nama Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) membuat mereka semakin dianggap sebelah mata. Banyak partai sayap kanan di Eropa, termasuk Bulgaria yang memberlakukan hukum bersikap diskrimintaif, termasuk larangan perempuan mengenakan cadar.
Bahkan, ada kemungkinan di Bulgaria khutbah keagamaan, khususnya dari warga asing tidak boleh disampaikan. Semua siaran keagamaan wajib menggunakan bahasa asli negara itu dan khususnya jika berhubungan dengan Islam.
Salah satu anggota parlemen mengatakan hal itu hanya sebagai upaya mencegah Muslim di Bulgaria menjadi radikal. Undang-Undang baru untuk mengesahkan hal itu dikatakan dapat segera dikeluarkan.