Selasa 04 Oct 2016 19:06 WIB

Hakim MK Pertanyakan Ahli Soal 2 Juta Pasangan Menikah Terancam Pidana Zina

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Damanhuri Zuhri
Patrialis Akbar
Foto: antara
Patrialis Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar mempertanyakan pernyataan ahli dari Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana yang menyebut perempuan sebagai

pihak yang berpeluang menjadi korban dalam perluasan pasal 284 KUHP.

Patrialis dalam tanggapannya kepada pihak terkait membandingkan tidak jelasnya hukuman di Indonesia terhadap perbuatan perzinaan dan tidak ada perlindungan oleh hukum terhadap perbuatan itu saat ini.

"Menurut Saudara, siapa? Laki-laki atau perempuan? Begitu juga dengan rayuan gombal, orang melakukan perzinaan, punya anak, tidak ada tanggung jawab, bahkan juga tidak sedikit yang dibunuh. Korbannya itu laki-laki atau perempuan," kata Patrialis dalam sidang uji materi pasal UU KUHP di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (4/10).

Patrialis juga mengulang pernyataan Kamala yang menyebut aturan hukum yang bersifat netral bisa mempunyai dampak yang diskriminatif terhadap perempuan dalam praktik yang berlaku di masyarakat. Mantan Menteri Hukum dan HAM itu pun meminta pendapat Kamala dengan kondisi hukum yang ada di Indonesia saat ini.

"Jika hukum yang netral saja masih bisa mendiskriminasi, apalagi kalau tidak ada ancaman hukuman, paling tidak bagi laki-laki pezina, bagaimana pandangan Saudara? Supaya ada affirmative action kepada perempuan," kata Patrialis.

Selain itu, ia juga mempertanyakan penyebutan jumlah dua juta pasangan yang perkawinannya tidak memiliki akta nikah dan proporsi pasangan yang tidak tercatat itu juga kebanyakan di kalangan penduduk miskin. Menurutnya, sesuai dengan Undang-undang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan itu dianggap sah apabila dilakukan menurut ajaran agamanya masing-masing.

Sehingga menegaskan pernyataan Kamala, jika pasangan yang menikah dilakukan menurut ajaran agamanya di satu sisi tentu dia sudah mempunyai keabsahan, yang kemudian memiliki kewajiban mendaftarkan kepada negara. Pasalnya, jika tidak didaftarkan maka kerugian secara keperdataan akan dialami yang bersangkutan maupun juga oleh anak-anak keturunannya.

"Tapi kalau perkawinan dilakukan secara adat agamanya artinya enggak ada dong kualifikasi perzinahan. Bagaimana Saudara bisa mengatakan dua juta yang melakukan perkawinan menurut agamanya ada kawin sirri itu akan dikriminalisasi, dari mana itu data-datanya? Atau mungkin itu hanya sebagai asumsi," kata Patrialis.

Adapun Kamala, yang merupakan mantan Sekjen Komnas Perempuan dalam keterangannya mengungkap ada dua juta pasangan menikah yang tidak tercatat di negara terancam menjadi korban pidana zina. Hal itu jika permohonan perluasan makna zina dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

Ia menyebut, dalan temuan penelitian PEKKA bersama Lembaga Penelitian Semeru di 17 kabupaten/kota di 19 provinsi yang mencakup 89 ribu keluarga dan lebih dari 320 ribu penduduk, ditemukan 36 persen pasangan yang tidak mempunyai akta nikah. "Proporsi pasangan yang tidak memiliki akta nikah semakin tinggi, yaitu mencapai 55 persen," ungkap Kamala.

Adapun Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini kembali menggelar sidang pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana terkait tiga pasal yakni pasal 284, 285 dan 292 KUHP dengan agenda mendengarkan keterangan pihak terkait dari DPP Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain itu juga, pada hari ini sidang juga diagendakan mendengarkan keterangan dari ahli dari Komnas Perempuan sebagai pihak terkait.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement