REPUBLIKA.CO.ID, BUDAPEST -- Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban memang menegaskan penolakan terhadap imigran Muslim. Namun, jajak pendapat menunjukkan kalau cuma 44 persen warga Hungaria mendukung penolak tersebut.
Terezia Feldmaar salah satunya. Guru berusia 64 tahun yang tinggal di perbukitan Buda itu, tidak setuju dengan kebijakan pemerintah Hungaria. Ia mengaku, ikut memberikan suara karena ingin berkontribusi terhadap jajak pendapat, dan tidak menginginkan penolakan.
Menurut dia, kontribusinya memberikan suara tentu membuat jajak pendapat menjadi lebih valid. Walau sebenarnya, dia tidak menginginkan kebijakan itu. Bahkan, Feldmar berharap, orang-orang di Hungaria memiliki alasan yang sama dengannya.
"Kami tidak ingin memiliki reputasi buruk ini di seluruh dunia, kami seharusnya bangga atas diri sendiri," kata Feldmar, seperti dilansir Public Radio International, Selasa (4/10).
Feldmar merupakan satu dari lima persen warga yang membatalkan suara mereka, walau partai oposisi utama turut memboikot jajak pendapat. Namun, semua seakan tertutup bualan pemerintah, dan retorika anti-Muslim kelompok aktivits liberal Two Tailed Dog Party.
Mereka memicu propaganda menghubung-hubungkan pengungsi Muslim dengan terorisme, maupun kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, mereka menghubungkan pengungsi dengan serangan teroris di beberapa negara Eropa seperti di Brussels dan Paris.
Gergely Kovacs (36), yang awalnya merupakan pendukung Two Tailed Dog Party, menegaskan perlu ada upaya besar mengubah narasi xenophobia yang didengungkan pemerintah Hungaria. Ia merasa, penting mencegah pemerintah membuat orang Hungaria jahat di mata dunia.
"Pemerintah membawa orang-orang menjadi jahat, sehingga jutaan warga Hungaria menghabiskan hari-hari membenci pengungsi yang bahkan tidak di sini, Hungaria tidak rasis pemerintah kami yang rasis," ujar Kovacs.
Penolakan atas ide PM Hungaria Viktor Orban semakin banyak, terutama atas retorika tsunami pengungsi Muslim yang diciptakannya. Ini semakin menegaskan pendapat atas tantangan nyata yang sebenarnya dihadapi Eropa bukan pengungsi, melainkan pemerintah masing-masing.