Pancasila, Nasionalisme Indonesia, dan AR Baswedan yang Saya Kenal
Oleh Lukman Hakiem, mantan staf M Natsir dan mantan Wakil Ketua FPPP DPR
Saya mulai kenal dengan Pak Abdul Rahman (AR) Baswedan saat menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta dan makin intens ketika saya menjadi Ketua Umum (1983-1984). Kebetulan, kantor HMI Yogya di Jalan Dagen dengan rumah Pak Bas (begitu saya memanggil Pak AR Baswedan) di Taman Yuwono, dekat jaraknya.
Saya mencatat, paling sedikit, tiga teladan Pak Bas yang patut diteladani. Pertama, kecintaannya kepada Republik Indonesia. Di paruh kedua abad XX, Pak Bas mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI). Menurutnya, sebelum kemerdekaan, tidak ada masyarakat atau bangsa Indonesia. Yang ada ialah masyarakat Hindia Belanda yang terdiri atas golongan Eropah, Timur Asing, dan Bumiputera.
Ketika ditanya pekerjaannya oleh hakim pengadilan di zaman Belanda, Baswedan muda menjawab: “Ketua Partai Arab Indonesia.” Jawaban tegas itu disergah oleh hakim: “Apa itu Indonesia? Tidak ada Indonesia.” Padahal hakim tersebut seorang bumiputera, bukan warga keturunan.
Ketika mendirikan PAI, Baswedan dan kawan-kawan mengakui adanya Indonesia di dalam ide dan di dalam pengakuan adanya nasionalisme Indonesia. Dengan menegaskan Indonesia di dalam nama partainya, Baswedan dan kawan-kawan ingin menghapus kekeliruan yang berkembang atau dikembangkan sejak zaman Belanda, yaitu anggapan kaum nasionalis bahwa kaum Islam itu tidak nasionalis. Dengan menggandengkan kata Arab dan kata Indonesia pada nama partainya, Baswedan hendak menegaskan bahwa orang-orang Arab yang identik dengan Islam itu adalah Indonesia. Bagi Baswedan, warga keturunan Arab secara de facto telah menjadi Indonesia sejak PAI diterima dalam Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI).
Belakangan, tokoh-tokoh PAI menyebar di berbagai partai. Pak Bas di Masjumi, Hamid Algadri di Partai Sosialis yang dipimpin Sutan Sjahrir. Ketika Baswedan bergabung ke Masjumi, masih saja ada orang bertanya mengapa Baswedan yang nasionalis bergabung ke partai Islam? Padahal, menurut Baswedan, sejak semula dan sampai kapan pun dia adalah nasionalis. Hanya saja nasionalismenya berlandaskan ajaran Islam. Sarekat Islam yang di zaman penjajahan Belanda memelopori politik non-co, adalah juga nasionalis.
Pak Bas sangat bangga dengan Indonesia. Oleh karena itu, Pak Bas sangat marah jika dalam mengurus sesuatu diminta menunjukkan surat keterangan kewarganegaraan Republik Indonesia. Bukan karena di awal kemerdekaan dia pernah menjadi Menteri Muda Penerangan dan berbulan-bulan berjuang di Mesir untuk memperoleh pengakuan atas kedaulatan RI dari negara-negara Timur Tengah, melainkan karena Pak Bas sudah merasa sangat Indonesia. Pak Bas marah jika lantaran hidung yang mancung atau mata yang sipit, seseorang dicurigai keindonesiaannya.