REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur budaya dan agama di Sekolah Pardee Universitas Boston, AS Robert W Hefner mengatakan, kekhawatiran terhadap pengakuan kepercayaan lokal menjadi isu sensitif karena akan muncul agama baru. Namun, ini dikembalikan kepada bingkai Hak Asasi Manusia.
"Secara individu siapapun boleh meyakini agama apapun yang diyakininya benar itu hak beragama dan keyakinan tersebut perlu dihargai dan dilindungi. Dalam hal ini pelayanan hak warga negaranya tetap harus dipenuhi. Tetapi, pengakuan negara terhadap agama baru dan umatnya itu masalah lain," kata dia dalam pra simposium Definisi Agama di Indonesia" rekognisi, poteksi dan kepastian hukum di Hotel Sari Pan Paciific, Selasa (4/10).
Menurutnya, saat ini, mereka sedang membahasa kepercayaan lokal yang telah lama ada di Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Ini yang perlu dilestarikan dan perlu ada pembahasan untuk diakui sebagai sebuah agama.
Tentu untuk syarat kepercayaan lokal sebagai agama ada tiga hal yang menjadi acuan. Yakni, mereka memiliki sesuatu yang dituhankan, memiliki nabi atau tokoh yang dikultuskan, memiliki kitab untuk acuan sumber keyakinan meskiun tertulis dan tidak tertulis dan memiliki ibadah rutin untuk menyembah tuhannya. Sedangkan agama baru yang muncul itu berbeda dengan kepercayaan lokal. Mereka diakui hak individunya tetapi bukan pengakuan agama.
Dia mencontohkan, seperti Islam yang sudah ada sejak lama, tetapi di pelosok AS, Islam merupakan agama baru. di New York dan New Jersey, Islam sudah bekembang dan diterima amsyarakat meskipun diskriminasi wanita berjilbab masih terjadi. Tetapi di Indiana, tempatnya kini mengajar, puluhan tahun lalu mereka tidak mengenal Islam bahkan mereka seluruhnya cenderung kristen konservatif yang tidak mudah menerima orang asing dan budaya atau agama baru.
Tetapi kini, ternyata di sana berdiri masjid megah di kota pedalaman yang jauhnya 1.500 kilometer dari Boston. Mereka bisa menerima pembangunan masjid, bahkan ketika ada yang melarang untuk membangun masjid maka akan dilapokan dan dibawa ke pengadilan.
Pengamat Agama dan jurnalis di Majalah Gatra Asrori S Karni mengatakan, proses registrasi sebuah kepercayaan menjadi agama dengan memberikan pelayanan hak warga negara berbeda. Kalau ini terus dipermasalahkan terus menerus, maka mereka yang tinggal di Indonesia yang seharusnya memiliki hak warga negera menjadi tertunda.
Kata dia, ada tujuh hak warga negara yang tidak dipenuhi pemerintah karena mereka tidak memeluk enam agama yang mayoritas. Pertama, perkawinan mereka yang tidak dicatatkan; kedua, bayi yang dilahirkan dari orang tua dengan keyakinan di luar enam agama tidak mendapatkan akta kelahiran; ketiga, tidak mendapatkan pendidikan agama; keempat, tidak mendapatkan hak untuk mendirikan rumah ibadah; kelima, tidak mendapatkan KTP; keenam tidak mendapatkan remisi hukuman saat hari besar agama mereka karena tidak dirayaka, dan ketujuh tidak dikuburkan sesuai dengan keyakinan yang danut.