REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asisten Deputi Perlindungan Anak dan Perempuan Urusan KDRT, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Usman Basuni, mengatakan tren tingginya angka perceraian di Indonesia sudah terjadi sejak lama. Tingginya angka perceraian disebabkan faktor menikah usia muda, ekonomi dan budaya.
"Menikah muda itu hanya salah satu penyebab tingginya angka perceraian. Faktor pendorong lain adalah budaya menyegerakan menikah bagi anak gadis di kalangan masyarakat Indonesia dan kondisi lemahnya kondisi ekonomi. Ini sudah terjadi sejak dekade 80-an bahkan sebelumnya," ujar Usman, Rabu (5/10).
Budaya menyegerakan pernikahan masih terjadi di beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan , Jawa Timur dan pedalaman Aceh. Para orang tua segera menikahkan anak gadisnya agar terlepas dari tanggungan keluarga. Padahal, faktanya, lanjut Usman, anak-anak gadis masih belum ingin menikah.
Usman tidak menyebut secara rinci berapa angka total kejadian perceraian di Indonesia. Dirinya mencontohkan ada beberapa daerah dengan angka perceraian antara 10 - 12 kejadian dalam sepekan.
Adapun penyebab spesifik perceraian adalah kekerasan verbal yang memuncak sehingga menyebabkan kekerasan fisik atau KDRT. Kedua bentuk kekerasan ini berawal dari belum dewasanya mental seseorang saat menikah. Kondisi mental yang masih labil menyebabkan kemampuan memecahkan masalah di antara pasangan kurang berfungsi dengan baik.
Lebih jauh Usman mengungkapkan, perkawinan pada usia ideal pun masih tetap berisiko perceraian. Sebab, banyak individu yang tidak menyadari bahwa dirinya belum siap menjalankan peran sebagai orangtua.