REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Myanmar menghapus undang-undang darurat yang ketat di negara itu. Selama ini, hukum tersebut telah digunakan oleh para mantan pemimpin militer untuk membungkam lawan-lawannya.
Undang-undang yang pertama kali diberlakukan pada 1950 itu dapat membuat pihak berwenang dapat menahan orang-orang tanpa tuduhan yang jelas. Bahkan, mereka dapat dipenjara serta dieksekusi dengan tuduhan pelanggaran yang dianggap sebagai pengkhianatan terhadap negara.
Hukum itu juga menindak orang-orang yang dinilai mengganggu moralitas publik, seperti menyebarkan berita palsu. Untuk tindakan pelanggaran itu, mereka mendapat ancaman penjara selama tujuh tahun.
Penghapusan undang-undang darurat ini dilakukan setelah Liga Nasional Demokrasi (NLD) meraih kekuasaan di Myanmar pada awal 2016. Hal ini sekaligus menjadi tanda berakhirnya dekade pemerintahan militer di salah satu negara ASEAN itu yang dinilai sering bertentangan dengan hukum.
"Hukum dalam undang-undang darurat itu telah digunakan oleh kediktatoran sosisalis untuk menangkap siapapun yang mencoba melawan mereka," ujar ketua komite Rancangan Undang-undang Parlemen Myanmar, Tun Tun Hein, seperti dilansir BBC, Rabu (5/10).
Baca juga, Pengunjuk Rasa Myanmar Kecam AS karena Gunakan Istilah Rohingya.
Ia juga menekankan, saat ini Myanmar memiliki pemerintahan rakyat. Karenanya, hukum semacam itu tidak perlu diberlakukan kembali atau diganti dengan aturan serupa.
Meski demkian, langkah pencabutan undang-undang darurat itu mendapat pertentangan dari beberapa militer yang menduduki 25 persen kursi di parlemen negara. Mereka berpendapat, hukum tersebut masih diperlukan untuk menjaga keamanan nasional.