REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Serat Centhini karya para pujangga zaman Kasunanan Surakarta dipimpin Sri Susuhunan Pakubuwana V (1785-1823), oleh sejumlah pihak didekatkan kepada pembacanya dalam beberapa bahasa. Hal ini diungkapkan budayawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Budi Subanar dalam rangkaian pembukaan Borobudur Writers and Cultural Festival di Magelang, Rabu (5/10) malam.
"Serat Centhini mengajak pembaca untuk mengembara, sebagaimana dilakukan dua tokoh dalam serat itu, Cebolang dan Amongraga," kata dia.
Acara yang berlangsung pada 5-8 Oktober 2016 di Magelang dan kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang diselenggarakan oleh Yayasan Samana itu, dibuka oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan antara lain dihadiri Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Badan Ekonomi Kreatif Endah Wahyu Sulistianti dan Anggota Komisi X DPR RI Bambang Sutrisno.
Ia menjelaskan pada 2006 di London, Inggris, diluncurkan terjemahan Serat Centhini dalam bahasa Inggris yang dibuat Profesor Suwito Santosa (almarhum). "Hari ini, 10 tahun kemudian, dalam BWCF Ke-5 di-launching Buku Syair Tambangraras yang telah dikerjakan Tim Alocita sejak 20 tahun lalu," katanya. Tim Alocita yang dipimpin Dr Emanuel Subangun itu, antara lain terdiri atas Dorothea Rosa Herliany, Profesor Sangidu, dan Dr Luwiyanto.
Ia mengatakan satu tim lainnya dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang melanjutkan karya terjemahan yang telah dirintis sejak 1992 oleh Dr Darusuprapto, beberapa tahun lalu juga telah menyelesaikan terjemahan dalam bahasa Indonesia atas 12 jilid Serat Centhini.
"Beberapa peristiwa tersebut menunjukkan Serat Centhini yang telah dihasilkan oleh para pujangga zaman Pakubuwono V, oleh sejumlah pihak didekatkan kepada para pembacanya dalam beberapa bahasa," kata Budi Subanar yang juga bagian dari Tim Kerja BWCF.
Pada kesempatan itu, ia menjelaskan secara umum tentang tokoh Cebolang dan Amongraga, dua tokoh dalam Serat Centhini. "Dua tokoh dalam Centhini memang secara fisik dan pengetahuan mengajak para pembaca Centhini untuk mengembara," ujarnya.
Ia mengatakan kisah Cebolang mengetengahkan berbagai khasanah pengetahuan sehingga tidak mengherankan Serat Centhini disebut sebagai "Ensiklopedi Kebudayaan Jawa".
Pengembaraan Amongraga, katanya, sebagian merupakan pengembaraan simbolik. Bersama pasangannya, Tambangraras, ia melewatkan malam-malam pertama pernikahannya selama 40 hari 40 malam, dan mengisinya dengan berbagai cerita kepada isterinya.
Mereka, katanya, tidak menikmati malam-malam tersebut sebagaimana layaknya pasangan pengantin baru. Amongraga malah mengisinya dengan berbagai ajaran yang merupakan tradisi sufi, tasawuf. "Di situlah kekayaan Serat Centhini berada. Perkaranya, orang banyak terperangkap seolah-olah Serat Centhini berada di pinggiran kisah-kisah yang membingkainya," katanya.
Pada peluncuran Buku Syair Tambangraras itu, disuguhkan penggalan kisah dalam Serat Centhini melalui tembang Jawa langgam Asmaradana dan pembacaan penggalan lain dari kisah Cebolang.