REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Para pengikut padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi disebut sebagai masyarakat yang mengalami krisis kejiwaan sosial. Pakar sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Wahyudi Winarjo, mengatakan, fenomena ini dapat terjadi karena berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat di kesehariannya.
Keringnya keberagamaan juga mendorong seseorang mengalami krisis ini. Agama tidak dipahami masyarakat secara utuh dan benar. Wahyudi mengungkapkan, fenomena serupa pernah terjadi di Amerika Serikat pada era new age.
"Indonesia bisa dibilang mengalami keadaan yang hampir sama, di mana masyarakat berfikir instan, mereka ingin kaya tapi tidak mau bekerja keras," kata kepada Republika.co.id, di Malang, Kamis (6/10).
Krisis ini tidak memandang tingkat pendidikan seseorang. Oleh karenanya, tak mengherankan jika pengikut Taat Pribadi berasal dari berbagai kalangan. Di lapisan masyarakat kelas bawah, mereka disebut sebagai aliran fatalistik. Sedangkan di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas, keinginan menggandakan uang dilandasi sifat rakus dan tamak.
Padahal, ukuran kebahagiaan tidak hanya dari banyaknya materi. Tetapi juga ketenangan dan ketentraman hidup. Analisis ini juga merujuk pada teori The Death of God yang muncul pada 1970-an.
Manusia, kata Wahyudi, telah membunuh tuhan dalam sikap dan perilakunya. "Kita mengaku Islam tapi tidak pernah shalat dan puasa, kalaupun menjalankan, itu hanya sekadar ritual dan tidak membekas dalam perilaku sehari-hari," katanya.
Dalam teori sosiologi dikatakan, di era modern manusia diarahkan untuk menggunakan rasionya. Tetapi teori kritis mengatakan berfikir rasional menggunakan logika saja tidak cukup. "Harus ada irrasionalitas dan sepertinya di sinilah masyarakat terjebak," kata Wakil Direktur III Pascasarjana UMM ini.
Kondisi ini ditambah dengan posisi Islam sebagai agama yang memiliki wilayah yang mudah dieksploitasi. Misalkan soal irrasionalitas dan gaib serta adanya keyakinan soal kekuatan jin. Sayangnya, sisi ini digunakan untuk kepentingan jahat.