REPUBLIKA.CO.ID, Ribuan orang memadati lapangan Pacuan Kuda Belang Bebangka, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, akhir Agustus lalu. Sejak pagi hingga petang mereka antusias untuk menyaksikan kemeriahan Lomba Pacuan Kuda Tradisional Gayo yang diselenggarakan untuk memeriahkan HUT ke-71 RI.
Acara budaya pacuan kuda itu telah menjadi tradisi warga dan telah menjadi wadah pesta rakyat Gayo yang menyatukan masyarakat di dataran tinggi Tanah Gayo, meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Sebanyak 365 ekor kuda yang didatangkan dari tiga daerah yang terkenal dengan penghasil kopi tersebut, siap bertanding di arena yang sudah berlangsung sejak sebelum era kolonial itu.
Pacuan kuda atau ‘Pacu Kude’ merupakan tradisi turun temurun, awalnya masyarakat Gayo menyelenggarakan pacuan kuda untuk menyambut ataupun merayakan masa panen padi yang umumnya terjadi antara Agustus dan September.
Kini kegiatan itu menjadi kalender tahunan pemerintah setempat, untuk menyelenggarakan kegiatan budaya itu sekaligus untuk menjadikan daya tarik wisata di daerah itu. Layaknya kegiatan budaya tradisional, pacuan kuda tetap diselenggarakan secara tradisional, antara lain tidak mewajibkan perlengkapan khusus untuk joki dan kuda, alias tanpa pelana dan bahkan tanpa pengaman. Usia joki dan kuda yang bertanding pun bebas, kebanyakan terdiri dari joki-joki cilik yang berusia di bawah 15 tahun, bahkan penonton pun bebas memasuki lintasan guna mendukung kuda andalannya.
Dataran Tinggi Gayo tidak hanya dikenal sebagai penghasil kopi terkenal namun juga dikaruniai bentangan panorama alam yang memikat dan berhawa sejuk, atraksi budaya ‘Pacuan Kuda Tradisional’ yang telah menjadi acara tahunan itu kini makin melengkapi pesona Gayo.