Sabtu 08 Oct 2016 14:57 WIB

Pernyataan Ahok, Isu SARA, dan Dewan Gereja New York

Red: Budi Raharjo
Shamsi Ali
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Shamsi Ali

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Nusantara Foundation & Muslim Foundation of America Inc, Shamsi Ali, angkat bicara mengomentari pernyataan kontroversial pejawat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok mengenai Surat Al Maidah. Pernyataan pria yang akrab di sapa Imam Shamsi Ali ini disampaikan secara tertulis.

Dengan gamblang, ia mengungkapkan berbagai pandangannya mengenai pernyataan calon gubernur yang diusung oleh PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Hanura ini. Diulas dari sisi solidaritas sosial hingga adanya harapan dari Dewan Gereja New York agar Ahok bisa menjadi pemimpin Indonesia.

Berikut pernyataan Imam Shamsi Ali:

Ketika kita berada dalam suasana tertentu seringkali rasa sensitifitas manusia meninggi. Aksi dan reaksi terhadap sebuah isu seringkali tidak terkontrol. Termasuk tentunya ketika kita sedang berada dalam musim kampanye. Amerika dalam hal ini tidak terkecuali. Demikian pula rencana pemilihan gubernur DKI Jakarta di tahun 2017 mendatang.

Pernyataan Ahok tentang S. Al-Maidah di Kepulauan Seribu adalah satu bukti bahwa sikap itu menunjukkan "sensitifitas" yang tinggi. Diakui atau tidak kegerahan umat Islam atas berbagai sikap dan pernyataannya selama ini mulai disadari "mengancam" posisinya pada pemilihan yang akan datang.

Perasaan terancam inilah yang menjadikannya melontarkan ungkapan yang seharusnya sensitif karena menyangkut emosi orang banyak. Menyatakan bahwa umat Islam dibohongi oleh Kitab Sucinya adalah pernyataan konyol, angkuh, dan merendahkan.

Ada dua kemungkinan kenapa Ahok harus menyampaikan pernyataan seperti itu. Pertama, mungkin karena itu memang karakternya. Di mana dia selalu berbicara tanpa memikirkan sensitifitas orang lain. Kedua, apa yang dia sampaikan merupakan penggambaran apa yang ada dalam hatinya.

Dan sudah pasti keduanya adalah kepribadian yang sangat tidak pantas bagi seorang pemimpin publik. Seorang pemimpin publik harus sensitif dengan lingkungan sekitarnya. Dia tidak bisa menutup mata terhadap realita yang sensitif, termasuk isu agama. Dan kalau ternyata dalam hati Ahok ada kebencian kepada keyakinan rakyat mayoritas yang dipimpinnya maka ini juga sangat berbahaya.

Isu SARA?

SARA itu pasti. Setiap orang punya tendensi untuk memposisikan diri pada posisi kelompok terdekatnya. Artinya seorang etnis Bugis alaminya ingin melihat etnis Bugis berhasil. Atau dalam konteks pemilihan ingin melihat yang terpilih dari kalangan etnisnya. Itu sunnatullah, hukum alam yang tidak dapat dipungkiri.

Kelompok agama juga demikian. Di mana saja setiap orang ingin melihat kelompoknya berhasil. Betapa banyak umat Islam ingin melihat suatu hari seorang Muslim menjadi walikota New York misalnya. Salahkah ini? Tidak sama sekali karena itulah yang disebut "solidaritas sosial" manusia.

Yang salah adalah keinginan kelompok kita menang itu menjadi dasar untuk membenci orang lain. Dalam Islam keinginan untuk kelompok kita berhasil itu tidak dilakukan dengan cara negatif. Misalnya dengan kebencian, menjelekkan, apalagi dengan kekerasan. Sebaliknya dilakukan dengan cara positif. Yaitu melalui "kompetisi sehat" untuk menampilkan calon dan program terbaiknya.

Oleh karenanya pernyataan Ahok itu di satu sisi salah. Tapi di sisi lain justeru memberikan ruang kepada umat ini untuk melakukan introspeksi. Kembali mempertanyakan di mana solidaritas sosial yang harusnya terbangun di atas asas "innamal mu'minuuna ikhwah"?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement