Senin 10 Oct 2016 16:02 WIB

Kehancuran Akibat Badai Matthew, Haiti Bak Dibom Nuklir

Cenelson Lundi (13 bulan) dirawat karena kolera di  Jeremie usai Haiti diterjang Badai Matthew, Ahad, 9 Oktober 2016.
Foto: AP Photo/Dieu Nalio Chery
Cenelson Lundi (13 bulan) dirawat karena kolera di Jeremie usai Haiti diterjang Badai Matthew, Ahad, 9 Oktober 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, PORT-A-PIMENT -- Penderita tiba setiap 10 atau 15 menit, dibawa dengan sepeda motor oleh kerabat dengan bahu diselimuti bekas muntahan dan diangkat melalui tangga ke rumah sakit Port-a-Piment, Haiti, tempat mereka bisa mengistirahatkan tubuh lemah akibat kolera.

Kurang dari sepekan sejak badai Matthew menghantam Haiti dan menewaskan setidak-tidaknya 1.000 orang, menurut hitungan pejabat setempat, negara hancur itu menghadapi krisis kesehatan masyarakat ketika kolera melanda masyarakat terpencil yang kekurangan air bersih, makanan dan penampungan.

Reuters mengunjungi RS Port-a-Piment pada Ahad pagi (9/10), pada hari pertama jalanan utama di barat daya Haiti sudah bisa dilalui mobil. Direktur kesehatan rumah sakit tersebut, Missole Antoine Pada mengatakan terdapat 39 penderita kolera. Hingga siang, penderitanya mencapai 60 orang, dan empat pasien meninggal akibat penyakit ditularkan lewat air itu.

"Jumlah itu akan meningkat," kata Antoine, sambil berjalan di antara pasien-pasien yang terbaring di lantai rumah sakit.

Meskipun ada 13 kasus kolera sebelum Matthew melanda, Antoine mengatakan, kasusnya meningkat drastis sejak badai menghancurkan kawasan yang sangat miskin. Rumah sakit kekurangan ambulans atau bahkan mobil, dan Antoine mengatakan banyak pasien baru datang dari lokasi yang jauh, dan dibawa anggota keluarganya dengan tempat tidur kamp.

Di dalam rumah sakit, para orang tua berwajah muram memeluk anak-anak kecil dengan mata cekung dan tidak sanggup mengangkat kepala mereka sendiri. "Saya percaya pada dokter, dan juga pada Tuhan," kata Roosevelt Dume (37 tahun) sambil menggendong anak lelakinya, Roodly, dan mencoba tetap optimistis.

Reruntuhan

Di jalanan, keadaan juga mengejutkan. Sepanjang dua mil lebih hampir seluruh rumah sudah menjadi reruntuhan dan besi-besi terpelintir. Kain warna-warni berserakan di antara reruntuhan.

Tanaman pisang di kawasan itu hancur dengan kebun pisang raja yang luas rata dengan tanah. Masyarakat hanya bergantung pada kelapa yang jatuh untuk makanan dan minuman, karena bantuan pemerintah dan asing tidak segera datang.

Bau busuk mayat, manusia maupun hewan, tercium dimana-mana.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement