REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menilai calon hakim ad hoc tipikor yang dekat dan memiliki relasi dengan partai politik (parpol) bukan berarti tidak independen. Menurut dia, independensi adalah soal bagaimana melaksanakan tugas, pokok dan fungsi sebagaimana penegak hukum dan keadilan.
"Independensi ini dalam arti melakukan tugas, pokok dan fungsinya. (Independensi) Bukan berarti nonpartai. Salah," tutur dia saat dihubungi, Senin (10/10).
Masinton mengambil contoh Hakim Agung Gayus Lumbun yang ketika diangkat pada 2011 menjadi Hakim Agung adalah seorang politisi dari PDI-P dan anggota DPR di komisi III. "Ketika diangkat menjadi hakim agung, beliau masih di DPR, tapi ketika melaksanakan fungsinya sebagai hakim dia kan independen, integritasnya juga baik kan," ujar dia.
Kata Masinton, pansel hakim ad hoc tipikor harus memperhatikan betul-betul tingkat independensi calon. Independensi ini dilihat bukan dari keterlibatan orang tersebut dalam organisasi parpol, melainkan pada upaya calon tersebut dalam melakukan fungsinya sebagai hakim.
Masinton menuturkan, banyak yang bukan anggota parpol tapi sebetulnya terafiliasi juga dengan parpol. Tim pansel, jelas dia, tentu bisa menguji tingkat independensi calon hakim misalnya melalui psikotes dan lain-lain.
"Karena independen itu bukan berarti tidak berpartai. Sepanjang dia memenuhi syarat administratif yang diatur dalam perundang-undangan, punya integritas yang baik, kemudian punya kompetensi dan pengalaman memadai di bidang hukum, nah kemudian punya rekam jejak yang tidak punya cela, karena ini hakim agung," kata dia.
Jika persoalan relasi dengan parpol dikhawatirkan bisa menghilangkan rasa independensi, lanjut dia, itu salah. Sebab, tiap orang tentu memiliki relasi. "Bukan diukur dari parpol, semua orang punya relasi. Jangan dikira orang yang tidak mempunyai parpol, lantas dia independen, belum tentu," tukas dia.
Sebelumnya Peneliti Hukum dari ICW Aradila Caesar menuturkan 49 calon hakim ad hoc tipikor ini dikategorikan merah yang berarti tidak direkomendasikan menjadi hakim. Indikatornya, karena berbagai hal. Di antaranya, calon tersebut pernah menjadi calon legislatif pada 2014, dan merupakan anggota parpol atau mempunyai relasi dengan parpol.
"Pak Artidjo (Hakim Agung) sepakat untuk dicoret, walaupun bukan anggota partai lagi. Idealnya ada jeda beberapa tahun tidak mengajukan diri sebagai hakim agar dia melepaskan relasinya dengan parpol. Tentu sejak 2014 itu kan tidak lama, masih ada ikatan batin lah dengan parpol tertentu," ujar dia.