Sekitar tahun 1816, tak lama setelah penyerbuan tentara Inggris ke Kraton Yogyakarta, kehidupan rakyat di Jawa makin porak poranda. Wabah kolera meluas, pajak begitu kuat menghisap rakyat yang sudah miskin, hingga penguasa yang sembrono di dalam mengumpulkan harta dan tak becus mengurus negara. Pada titik kerawanan ini muncul sejumlah orang yang mengaku dirinya sebagai 'Ratu Adil'. Mereka menyatakan bisa menyelamatkan keadaan dengan membawa rakyat hidup dalam ketentraman, kemakmuran, serta keadilan.
Pada Januari 1817, di wilayah Bagelen timur, muncul apa yang disebut peristiwa Umar Mahdi. Dinamakan seperti ini dengan mengacu pada panggilan seorang penduduk warga desa Sambiroto, Kabupaten Kulon Progo. Orang ini menyandang gelar 'Raden Mas Umar Mahdi' dan mencanangkan dirinya sebagai pemimpin penyelamat kehidupan (Ratu Adil).
Pada awalnnya, tak ada orang maupun pihak penguasa yang peduli. Namun 'Umar Mahdi' mulai mengusik perhatian ketika dia mampu mengumpulkan sekitar 50 orang dalam sebuah pertemuan, termasuk seorang perempuan. Penguasa wilayah Yogyakarta mulai curiga, karena peserta pertemuan membawa persenjataan seperti tombak, pedang pendek, dan keris. Pertemuan ini berlangsung pada 2 Januari 1817 di Desa Sanepo, sebelah Timur Purworejo, atau tak jauh dari Begelen. Semua yang hadir mengenakan jubah putih dan sorban aneka warna.
Kenyataan itu dikisahkan sejarawan Inggirs, Peter Carey, (Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855). Sebelum pertemuan, Mahdi pun telah menulis surat kepada pejabat Kawedanan setempat untuk meminta izin mendirikan tempat penginapan dan tempat pertemuan atau paseban. Mahdi meminta pejabat itu datang dengan membawa sebanyak mungkin pengikutnya, yang semuanya menunggang kuda. Sepuluh panji putih, yang dirujuk dalam laporan itu sebagai umbul-umbul dikibarkan di masjid setempat.
Tak hanya itu, Mahdi kemudian menyatakan kepada para pengikutnya bila pertemuan itu merupakan hari penobatannya. Dia kemudian menyatakan kepada para pendukungnya bahwa Mas Tumenggung Sawunggaling, Bupati Yogya untuk Bagelen timur, akan diminta melepaskan jabatannya. Hari itu, yang dalam kalender Jawa 18 Sapar 1774 J (Kamis, 9 Januari 1817), adalah hari penobatannya sebagai Ratu Adil. Dan bila nanti penobatan sudah dilangsungkan, maka semua penduduk Begelen, baik jawa maupun Tionghoa, akan 'ditundukkan'.
Namun, dari laporan Pejabat Asisten-residen Yogya, JD Kruseman (menjabat 1816-1817), mengisyaratkan bahwa Mahdi mengeluarkan lagi sejumlah perintah yang menakutkan, seperti meminta agar para pengikutnya bergerak menuju sebuah pertemuan yang akan digelar di sebuah perkampungan yang ada di sebelah barat, yang banyak dihuni orang Tionghoa yang bekerja sebagai saudagar dan pedagang kain. Bahkan beredar seruan dari Mahdi agar membunuh semua orang Tionghoa. Para pengikutnya pun diminta agar maju menuju pusat Kerajaan Yogya dengan cara melingkar melalui pegunungan Menoreh untuk menuntut Sultan turun tahta.
Dalam satu laporan pribadi yang diserahkan oleh seorang pejabat agama yang sempat bertemu dengan Umar Mahdi menyatakan, bila calon Ratu Adil ini digambarkan telah mencanangkan diri sendiri sebagai prajurit Sultan Usmani, yang disebutnya Sultan Rum. Dia mengumumkan bahwa Sultan tersebut telah menyuruhnya menjaga Sambiroto karena Sultan sendiri yang akan tiba di sana didampingi oleh Syekh Sayidana Muhammad, Syekh Rahman Waliyullah (alias Umar Mahdi) sebagai penguasa Jawa yang baru. Umar Mahdi pun mengklaim diri akan dibantu oleh Wali Islam di Jawa, Sunan Bonang.
Tidak lama sesudah pertemuan itu, Umar Mahdi dipenjarakan bersama 36 pengikut lainnya. Setelah diperiksa oleh Pejabat Residen Yogya, Umar Mahdi dinyatakan tidak bisa bicara sepatah kata pun dalam bahwa Arab, hanya bahasa Jawa dengan logat Yogya yang kental. Semula dia dijatuhi hukuman mati, namun keputusan itu diubah menjadi pengasingan untuk seumur hidup mengingat 'kegilaan'-nya. Para pengikutnya dihukum cambuk.