REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Presiden Komite Eksekutif Konferensi Keagamaan dan Perdamaian se-Asia Din Syamsuddin mengatakan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi tameng kuat. Tameng ini, kata dia, penting guna menangkal sisi negatif dimensi ganda dari multikulturalisme.
"Multikulturalisme berdimensi ganda, bisa mendorong integrasi dan disintegrasi. Tantangan bagi kita bagaimana itu jadi kekuatan yang membawa persatuan," kata Din dalam simposium Keragaman Budaya untuk Pembangunan yang Tanggung Jawab bagian dari Wolrd Culture Forum (WCF) 2016 di Nusa Dua, Bali, Rabu (12/10).
Din menjelaskan bahwa ada gejala di dunia dan juga Indonesia bahwa multikulturalisme masih dipersoalkan, dan persoalan ini masih belum selesai. "Itu yang tampak," katanya.
Yang terjadi, menurut dia, adalah sifat keakuan, individualisme yang berubah cepat menjadi eksklusivisme. Sifat-sifat ini cepat mendorong perpecahan, terlebih ketika kondisi tersebut berhimpit dengan persoalan sosial, seperti kesenjangan ekonomi. Karena itu, menurut Din, perlu ada beberapa strategi untuk menanganinya.
Pertama, kesadaran akan pentingnya multikulturalisme yang dalam agama merupakan hukum Tuhan dan, kedua, kembangkan nilai budaya yang menjadi code of conduct dalam masyarakat untuk saling menghargai dan tenggang rasa. Yang harus dipahami, menurut Din, adalah bahwa memang ada titik perbedaan dalam masyarakat, tetapi juga ada titik persamaan. "Nah ini dicari," katanya.
Indonesia, menurut Din, sangat beruntung karena bapak pendiri bangsa sudah memberikan dua warisan penting untuk menangkal dampak negatif dari dimensi ganda multikulturalisme, yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki filosofi menyatukan kemajemukan bangsa.
"Ini belum selesai, maka kita harus merawat. Jika ada persinggungan menyangkut perbedaan, apa pun itu, agama misalnya yang belakangan ini sedang menghangat lagi atau budaya, maka kembalikan lagi kepada apa yang sudah dimiliki bangsa ini, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika," ujar Din.