Rabu 12 Oct 2016 12:17 WIB
Dari Gatoloco. Aidit, Panji Kusmin, Monitor, Hingga Ahok (1)

Gatoloco dan Darmogandul: Sinisme Terhadap Islam di Awal Abad 20

Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Foto: Sampul Buku Penaklukan Jawa karya Major Wiliam Throne.
Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).

Keriuhan kontroversi soal penghinaan ajaran Islam yang kini ramai karena menyikapi soal isi video pidato Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu, bila ditelisik dalam perkembangan sejarah penyebaran Islam di Nusantara—terutama Jawa—sudah berlangsung sangat lama. Semenjak dulu selalu ada sikap dan tindakan pejoratif , sinis, atau bahkan anti-Islam seperti itu.

Salah satu kenyataan itu akan terlihat jelas bila membaca kembali beberapa buku klasik di dalam kesusteraan ‘Jawa baru’, yakni Dermagandul (ada yang menulis Darmogandul) dan Gatoloco (ada juga yang menulis dengan Gato Lotjo).

Pada zaman silam sebelum tahun 1970-an buku ini di Jawa tersebar luas. Orang membicarakan dari mulut ke mulut. Ajaran Islam, fiqh, hingga sosok ulama dan haji jadi bahan olokan. Saking kesalnya, pihak yang tersinggung kerap menyebut olok-olokan  Gatoloco sebagai sebutan ‘kothak-kathik gathuk’ (permaian kata-kata) dengan arti: ‘Digathuk-gathue dadine lucu”  (dihubung-hubungkan yang jadinya lucu).

Buku-buku  ini masih ditemukan pada era Soekarno, tetapi di larang selama Orde Baru. Namun pada 2005 dan 2006,  Dermagandhul diterbitkan ulang di Surakarta dan Yogyakarta oleh pengarang yang tampaknya berbeda, yang merupakan nama samaran (noms de plume)  dari satu penulis yang lebih suka namanya anonim karena takut masih adanya larangan resmi penerbitan.

Namun,  sekitar dua tahun silam, stensilan buku Gatoloco versi penerbit Tan Khoen Swie, Kediri, Tjetakan ke V tahun 1958 masih gampang di dapatkan. Di  kios buku antik yang berada di pinggiran Alun-Alun Utara Surakarta (tak jauh dari Kraton dan Masjid Besar Surakarta) buku ini masih dijual belikan.

Sampul gambar buku sangat sederhana, namun menarik karena terasa antik. Gambar nya memakai lukisan sketsa seorang lelaki yang duduk bersimpuh di depan seorang perempuan yang berdiri di depan sebuah gua. Perempuan itu digambarkan dengan memakai kebaya dan kain. Lekuk tubuh keperempuannya terkesan ditonjolkan. Bahasa buku ini terkesan ‘asli’ karena memakai bahasa Jawa baru.

Jalinan cerita buku ini mengisahkan tentang perdebatan antara tiga sosok kyai (ulama) dengan seorang  lelaki bernama Gatoloco digambarkan sebagai orang yang berpenampilan buruk, berbau busuk, bermulut kotor, penghisap candu, pembantah, filosofis, dan berpikiran seksual. Gatoloco pun tak sendirian. Dia ditemani  bujangnya yang bernama Darmogandu

Sikap ingin menista atau sinis terhadap Islam, tercermin dalam percakapan antara tiga orang ulama dengan Gatoloco. Dalam Bab ke IV, buku Gatholco tebritan Tan Khoen Swie Kediri hal 1958 (Gambuh, 26). Perdebatan ini terkait dengan soal haramnya kaum Muslim memakan daging babi:

(26) Den ingu kawit kuntjung, lah tah sapa wani ganggu-ganggu, luwih kalal saking iwak wedhus pithik, jen asale iwak wedhus, sakko anggone anjenjolong.

(Sudah dipelihara semenjak kecil (babi), lalu siapakah yang berani mengganggu, (karena) lebih halal daging babi itu dari pada kambing- ayam, bila asalnya daging kambing  itu didapat dari mencuri,red).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement