REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku usaha industri rokok di daerah optimistis Peraturan Menteri Keuangan tentang tarif cukai tembakau, bisa mengurangi celah peredaran rokok ilegal. Sebab, menurut Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Malang (Gaperoma) Johny, dalam aturan terbaru itu batas maksimal produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan dua dilonggarkan menjadi maksimal tiga miliar batang per tahun dari sebelumnya dua miliar batang per tahun.
Dengan begitu, kata dia, kebijakan ini bisa mendorong para pengusaha rokok di daerah meningkatkan produksi setelah selama ini bertahan dengan produksi di bawah dua miliar batang.
Johny mengatakan, dengan dibukanya batas atas golongan dua jadi tiga miliar batang per tahun, maka pabrik di layer tersebut akan mampu mengurangi celah peredaran rokok ilegal karena memiliki kesempatan menaikkan produksi. “Harapan kami, iklim usaha kondusif dan sehat di semua golongan. Kami juga ingin pemberantasan rokok-rokok ilegal lebih gencar,” kata dia dalam keterangannya, Selasa (12/10).
Dari catatan Direktorat Bea Cukai, terdapat 1.350 kasus hasil rokok ilegal sepanjang 2016. Ini termasuk penindakan rokok impor. "Sebanyak 156,2 juta batang berhasil diamankan oleh Bea Cukai," kata dia.
Nilai barang hasil penindakan tersebut sebesar Rp 116,2 miliar. Jumlah penindakan tersebut merupakan jumlah tertinggi sejak tahun 2013. Di tahun 2013 tercatat ada 635 kasus dengan jumlah barang penindakan sebanyak 94,1 juta batang yang nilainya mencapai lebih dari Rp 52 miliar.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran menambahkan, industri siap menjalankan dan melaksanakan keputusan pemerintah dalam hal ini PMK 147/PMK.010/2016 meski dari sisi kenaikan cukai lebih tinggi dari usul Gappri. "Seharusnya enam persen sesuai inflasi dan pertumbuhan, walau demikian IHT bersyukur tidak hancur, sebab tidak jadi naik Rp 50 ribu per bungkus, seperti berita yang heboh selama ini," kata Ismanu.