REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesultanan Cirebon di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, memiliki kebijakan lebih kepada akulturasi budaya sebagai perekat antara Islam dan masyarkat setempat.
Effendy Khasan dalam buku Pepatah-petitih Sunan Gunung Djati Ditinjau dari Aspek Nilai dan Pendidikan menyampaikan, peradaban Islam yang disebarkan oleh SGJ memberi kontribusi terhadap pembentukan cara pandang dunia yang menekankan aspek teosentrik, berkisar kepada Tuhan, daripada konsep peradaban Barat yang lebih menekankan aspek antroposentrik, berkisar kepada manusia.
Semuanya itu, berasal dari warisan kearifan lokal Sunan Gunung Jati yang diaktualisasikan ke dalam beberapa simbol seperti dalam bentuk payung sutra berwarna kuning dengan kepala naga.
Payung ini melambangkan sebagai semangat perlindungan dari raja kepada rakyatnya. Sementara, simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam dibagi ke dalam empat tingkatan, yaitu syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Tahap pertama adalah syariat yang disimbolkan dengan wayang. Wayang adalah perwujudan dari manusia, dan dalang adalah Allah. Tahap kedua adalah tarekat yang disimbolkan dengan barong.
Tahap ketiga adalah hakikat yang disimbolkan dengan topeng. Dan tahap keempat adalah makrifat yang disimbolkan dengan ronggeng. Wayang, barong, topeng, dan ronggeng adalah empat jenis dari pertunjukan kesenian masyarakat Jawa (Cirebon).
Simbol-simbol di atas sering kali muncul dalam berbagai acara selamatan-selamatan (sedekahan), yang menjadi tradisi di bulan-bulan tertentu dan perayaan-perayaan keislaman yang berasal dari tradisi Wali Songo, termasuk Sunan Gunug Jati.