REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memastikan akan mengejar potensi penerimaan pajak dari pengguna akun media yang menjajakan barang maupun menawarkan jasa (selebgram) dari pihak lain di media sosial. "Secara ketentuan itu juga penghasilan kena pajak dan harus dilaporkan dalam SPT. Kita sedang kaji mekanisme pengenaannya," kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama dalam media gathering bersama pewarta di Malang, Kamis.
Hestu menjelaskan setiap kegiatan ekonomi yang bisa menghasilkan keuntungan bisa dikenakan pajak oleh pemerintah, termasuk upaya yang dilakukan "selebgram" untuk memasarkan produk tertentu melalui media sosial.
Meskipun demikian, ia mengatakan hal tersebut menghadapi sejumlah tantangan karena sistem perpajakan Indonesia yang masih menggunakan "self assessment" dalam pelaporan SPT dan belum seluruh wajib pajak telah melapor pajak dengan benar. "Tidak semua orang taat pajak. Ini yang kami pikirkan untuk membuat mekanisme atau mengawasi dengan lebih baik, supaya dengan adanya 'self assessment' mereka tetap tertib dan patuh untuk membayar," ujar Hestu.
Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan para selebgram harus mematuhi kewajiban perpajakan secara benar untuk memenuhi unsur keadilan, meski upaya pemungutan itu tidak mudah dilakukan. "Memang tidak mudah, kalau dia korporasi gampang saja untuk memotong (pajak), tapi kalau individu, masih susah. Sebelum kesitu, lebih baik ke hulunya, ke Instagram-nya atau Youtube-nya, karena mereka bisa mendapatkan pendapatan dan iklan. Itu yang belum dipajaki," ujarnya.
Namun, menurut dia, perusahaan teknologi informasi yang bergerak dalam bidang e-commerce atau media sosial masih belum bisa menjadi subyek pajak secara potensial, karena tidak memiliki kantor perwakilan secara resmi di Indonesia.
Yustinus mengatakan negara berpotensi memungut pajak dari bisnis perdagangan elektronik, apabila memiliki data yang akurat terkait potensi penerimaan pajak, seperti Inggris yang baru saja memenangkan gugatan terkait pungutan pajak kepada Google.
"Yang penting kita punya hak. Soal cara adalah nomer dua. Kalau kita punya bukti, misalnya pendapatan Rp 5 triliun, bisa kita bicarakan berapa sharing pajak untuk Indonesia. Tapi, sekarang kita belum punya dua-duanya. Karena kalau dipaksakan, tapi seperti sekarang, kita bisa kalah di sengketa pajak," katanya.