REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pengembangan riset dan inovasi di Indonesia masih tergolong rendah. Bahkan di ASEAN, indeks inovasi Indonesia masih kalah dibanding Malaysia dan Singapura.
Dirjen Penguatan Inovasi Kemenristek Dikti Jumain Appe mengatakan daya saing inovasi Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan Singapura. Hal ini berdasarkan data yang diterbitkan World Economic Forum pada tahun ini.
"World Economic Forum telah merilis Global Competitiveness Index 2016-2017 pada akhir bulan September 2016. Dalam laporan tersebut, indeks daya saing Indonesia tahun ini tercatat di peringkat ke-41 dari 138 negara yang disurvei. Di level ASEAN, peringkat Indonesia ini masih berada di bawah tiga negara tetangga, yaitu Singapura, Malaysia dan juga Thailand," kata Jumain dalam diskusi Pengembangan Kapasitas Inovasi di Hotel Savoy Homan, Kota Bandung, Kamis (13/10).
Jumain menyebutkan secara ranking dunia, Singapura berada di peringkat 2, Malaysia di peringkat 25. Serta Thailand yang berada di peringkat 34. Namun Indonesia masih mengungguli Filipina yang berada di peringkat 57, Vietnam di peringkat 60, dan Laos di peringkat 93.
Meskipun demikian, kondisi serius ini harus direspons melalui kebijakan dan pelaksanaan program yang tepat. Sehingga akselerasi pembangunan dapat terdorong secara cepat yang nantinya akan diukur melalui 12 pilar yang diterbitkan Global Competitiv 2016-2017.
"Dimana salah satu pilar penting adalah Inovasi. Seperti diketahui bahwa berbagai kegiatan yang ada di Kemenristekdikti maupun di kementerian lainnya merupakan kegiatan yang outcome-nya diharapkan berkontribusi untuk meningkatkan index pilar inovasi maupun index pilar lainnya," ujarnya.
Ia menuturkan riset dan inovasi di Indonesia memang terbentur beberapa kendala. Mulai dari sumber daya manusia (SDM) hingga anggaran. SDM riset dan akademik saat ini dikatakannya tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara. Jumlah SDM peneliti di Malaysia dan Singapura adalah dua hingga tujuh kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Indonesia.
"Besaran anggaran riset dan pengembangan di Indonesia juga terbilang sangat kecil, yakni 0,08 persen GDP. Kondisi ini sangat kecil dari angka ideal 1,2 persen GDP sekitar 3,4 persen APBN," kata dia.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kapasitas pengembangan riset dan inovasi di Indonesia, Ditjen Penguatan Inovasi menggealr diskusi bersama ahli inovasi dari bebagai dunia. Kehadiran tim ahli Prof. Bengt-Ake Lundvall dari Universitas AALborg Denmark di Indonesia membuka kesempatan baik bagi para pembuat kebijakan, peneliti dan inovator untuk berbagi pengetahuan dan belajar bersama. Di mana Prof Lundvall merupakan penggagas serta pencetus Konsep Inovasi Nasional pada tahun 1988.
Bekerja sama dengan Kantor Staf Presiden (KSP) hasil diskusi dengan tema Pengembangan Kapasitas Inovasi akan menjadi masukan-masukan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang mendukung program prioritas riset dan inovasi.