Sabtu 15 Oct 2016 21:26 WIB

Curhat Masyarakat Bantargebang ke Anies

Rep: Kabul Astuti/ Red: Indira Rezkisari
Pemulung mengais sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (11/2).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Pemulung mengais sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (11/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Bakal calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengunjungi anak-anak di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi. Anies menerima curahan hati warga yang sudah tiga dekade dikungkung oleh gunungan sampah.

Melihat adanya momentum pergantian kepala daerah ibu kota, sejumlah elemen masyarakat sekitar TPST Bantargebang dalam beberapa pekan ini telah bergerak memperjuangkan perubahan kehidupan yang lebih baik, meskipun tak memiliki hak pilih dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Selain menyuarakan pengelolaan sampah Jakarta yang ramah lingkungan, masyarakat TPST Bantargebang juga menuntut adanya kompensasi yang lebih baik terutama di sektor pendidikan melalui gerakan "Tukar Sampah dengan Pendidikan". Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan (AMPP), Agus Hadiprasetyo, menyebut Bantargebang jadi penting bagi siapa pun yang menjadi gubernur Jakarta karena apa pun yang tak terpakai di ibu kota akan berakhir di sini. Hampir semua warga ibu kota tidak tahu dampak negatif sampah Bantargebang. Ia mengingatkan bahwa masyarakat tak ingin disamakan seperti sampah.

"Tapi dengan tidak memprioritaskan pendidikan di Bantargebang, sama saja Jakarta menganggap masyarakat Bantargebang seperti sampah," kata Agus yang sudah delapan tahun ini menjalankan pendidikan karakter bagi masyarakat sekitar Bantargebang lewat Komunitas Barudak Leutik. Agus menegaskan, bantuan pembangunan infrastruktur tidak akan berarti apabila masyarakatnya rentan penyakit dan bodoh.

Lurah Cikiwul, Warsim Suryana, mengakui dana pendidikan di Kota Bekasi memang tidak mencukupi. "Khusus untuk Bantargebang, kami berharap ada kompensasi plus sehingga warga cerdas, tak hanya dicekoki kompensasi," ungkap Warsim. Salah satunya, melalui konsep tukar sampah dengan pendidikan mengingat sudah 30 tahun Bantargebang menerima sampah.

Selama ini, Pemprov DKI Jakarta memang sudah memberi kompensasi sebesar Rp 300 ribu per tiga bulan untuk setiap KK di empat kelurahan. Sebanyak Rp 200 ribu untuk masyarakat, sedangkan Rp 100 ribu dipotong untuk dana comdev. Direktur Pusat Pengkajian Persampahan Indonesia, Sodiq Suhardianto menuturkan awalnya dia mengusulkan dana kompensasi berbentuk community development berupa penyediaan air bersih, pendidikan, dan kesehatan gratis.

Namun, kata yang pernah menjadi konsultan sampah Pemprov DKI Jakarta ini, Pemprov DKI Jakarta lebih memilih cara gampang dengan memberi kompensasi tunai atau 'uang bau'. Awalnya, ketika pertama kali diberikan pada tahun 2004 hanya Rp 50 ribu per tiga bulan. Menurut Sodiq, kompensasi yang setara Rp 3.300 per hari itu tak sepadan dengan buruknya risiko yang dihadapi masyarakat.

"Sebetulnya ini melecehkan. Buat beli air mineral saja tidak cukup," kata Sodiq. Ia menceritakan, Bantargebang masih berupa persawahan yang asri sebelum digunakan untuk tempat pembuangan sampah pada 1986. Semua yang terjadi saat ini dia sebut akibat kebijakan Pemprov DKI. Masyarakat Bantargebang berhak menolak bau dan pencemaran lingkungan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement