REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai tak bisa lepas tangan atas hilangnya dokumen tim pencari fakta (TPF) Munir dari arsip Sekretariat Negara. Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya hal tersebut adalah SBY.
"Karena TPF dibentuk dan bekerja untuk SBY pada 2005. Selama 10 tahun memimpin pula SBY memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menindaklanjuti rekomendasi laporan akhir TPF, tetapi tidak melakukan apapun dan bahkan tidak merawat laporan tersebut," kata Tigor, Senin (17/10).
Menurut dia, SBY jangan hanya diam membisu atas putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara membuka dokumen TPF. Menurut Tigor, sekalipun perintah KIP itu ditujukan pada Sekretariat Negara sebagai institusi, SBY secara moral tetap memiliki kewajiban untuk menjelaskan keberadaan dokumen itu kepada publik.
"Setidaknya, karena selama 10 tahun SBY telah gagal menuntaskan kasus yang disebutnya sendiri sebagai the test of our history," ujarnya.
SBY harus memastikan rezim baru di bawah kepemimpinan Jokowi memiliki akses atas laporan kerja TPF sehingga Jokowi bisa menuntaskannya. Sebagaimana mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra sampaikan, bahwa SBY sama sekali tidak memberikan mandat apapun kepada Yusril atas laporan akhir TPF.
"Dengan demikian, hanya pada SBY kita bisa memperoleh penjelasan di mana dokumen tersebut berada. Terima kasih," kata Tigor.