REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Barisan Muda Nahdlatul Ulama (BMNU) mendukung sikap PBNU agar penista agama Islam ditindak sesuai hukum yang berlaku. Hal ini terkait dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama soal surah Al Maidah ayat 51.
"PBNU bukan kumpulan ulama partai politik, sebaiknya jangan bawa budaya parpol ke PBNU," kata Koordinator Nasional BMNU, Maksum Zuber, di Surabaya, Rabu (19/10).
Oleh karena itu, kata mantan Sekjen PP IPNU, PBNU tidak perlu terlibat mendukung atau tidak mendukung pasangan calon dalam pilkada secara kelembagaan, termasuk memecat kadernya akibat perbedaan politik secara individual.
"Para ulama dan PBNU justru harus meningkatkan dan mendorong silaturahim antarumat seagama dan antarumat beragama secara individu maupun organisasi, untuk menjaga keutuhan NKRI," katanya.
Sebagai warga Nahdliyin, pihaknya memimpikan PBNU menjadi perekat umat NU dan umat Islam. "Itu akan terwujud manakala PBNU kembali pada pembinaan umat sesuai visi dan misinya," katanya.
Maksum Zuber menyebut lima misi NU yakni di bidang organisasi melakukan penguatan jam'iyyah atau organisasi (capacity building) melalui pelatihan, workshop, upgrading, networking, dan lainnya.
Di bidang agama, NU mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah, sedang di bidang pendidikan, NU mengupayakan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Di bidang sosial, NU mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia, lalu di bidang ekonomi, NU mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi untuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan.
Senada dengan itu, Ketua Forum Alumni (Forluni) PMII UI, Achmad Solechan, mengajak semua komponen bangsa menjadikan pilkada sebagai momentum meneguhkan konsep keindonesiaan.
"Kami tidak ingin Islam dijadikan kendaraan politik dengan menahan diri untuk tidak menggeser isu politik dalam pilkada menjadi isu SARA yang mengancam Bhinneka Tunggal Ika, apalagi melakukan dengan fitnah dan hasutan bernada kebencian lewat media sosial," katanya.