REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, mengatakan pertempuran di Mosul sangat beresiko bagi keamanan Asia Tenggara. Tentara Irak dengan sekutunya sedang berusaha untuk merebut kembali Mosul dari tangan ISIS.
Menurutnya, lonjakan pelarian diri para militan sebelumnya juga pernah terjadi pascainvasi Amerika Serikat ke Afghanistan. "Saya pikir ini akan menjadi sebuah ancaman. Ketika para pejuang kembali ke negara-negara seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina, mereka akan membangun semacam jaringan alumni, seperti yang dilakukan para pejuang dari Afghanistan hampir dua dekade lalu," kata Ridlwan.
ISIS membentuk afiliasi regional di Asia Tenggara yang disebut Katibah Nusantara. Para militannya tersebar di Malaysia, Indonesia, serta Filipina, dan diduga dipimpin oleh Muhammad Bahrun Naim dari Indonesia.
Rohan Gunaratna, pakar terorisme internasional yang berbasis di Singapura, mengatakan, kembalinya pejuang asing seperti Naim akan memberikan implikasi keamanan besar bagi Asia Tenggara, Asia Selatan dan timur laut Asia.
"Pemerintah setempat harus melacak setiap pejuang asing apakah mereka telah secara langsung berpartisipasi dalam kekerasan," ujar Gunaratna.
Menurut Ridlwan, negara-negara Asia Tenggara, Indonesia khususnya, memiliki tantangan untuk melakukan pemantauan ketat karena keroposnya penjagaan di perbatasan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17 ribu pulau.
"Ada begitu banyak pintu imigrasi dan tidak semua dimonitor. Pasti akan ada beberapa orang yang menyelinap kembali ke masyarakat tanpa diketahui pemerintah," kata Ridlwan.