REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra mengingatkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menuntaskan kasus pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir.
"Pengungkapan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir adalah salah satu agenda penting dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa reformasi," katanya dalam konferensi pers Imparsial "Evaluasi Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK Pada Bidang Hukum dan HAM, Pertahanan dan Keamanan" di kantor Imparsial Jakarta, Rabu (19/10).
Menurutnya, terus berlarut dan tidak kunjung tuntasnya kasus pembunuhan Munir hingga 12 tahun masih memperlihatkan kurangnya komitmen pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia.
Oleh karena itu, kata dia, upaya mengungkap kasus ini secara tuntas dan mengadili dalangnya bukan hanya akan menunjukkan sejauh mana komitmen pemerintahan Jokowi-JK dalam penegakan HAM tetapi juga menjadi tolak ukur bagi Indonesia sebagai negara demokrasi yang melindungi HAM.
Ia menyatakan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dibentuk pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa pembunuhan terhadap Munir melibatkan oknum Badan Intelijen Negara (BIN).
"Meski demikian, hasil penyelidikan itu yang sejatinya bisa menjadi pintu awal untuk membuka dan mengungkap kasus itu, alih-alih ditindaklanjuti tetapi hingga kini juga tidak kunjung dibuka dan diungkap ke publik," ujarnya.
Menurutnya, hasil penyelidikan TPF itu sangat penting karena mengindikasikan adanya sejumlah kejanggalan dan sekaligus juga dugaan kuat bahwa pembunuhan itu diduga melibatkan pelaku lapangan dan dalang pembunuhan dalam institusi BIN.
Selain itu, kata dia, berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini tercatat menyisakan persoalan dan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Jokowi-JK antara lain kasus tragedi 1965, kasus Talangsari, kekerasan pasca jajak pendapat di Timor Leste, kasus 27 Juli, kasus Tanjung Priok, penculikan aktivis 1997/1998, kasus Semanggi I/II, dan kasus Trisakti.