REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama 66 tahun lamanya sastra dalam pendidikan di Tanah Air tidak diajarkan seperti seharusnya bila dibandingkan dengan pengajaran sastra di negara-negara lain. Demikian menurut penyair dan sastrawan senior Taufiq Ismail.
"Pada zaman Hindia Belanda sastra diajarkan di sekolah dengan baik sekali, setara dengan negara-negara di Eropa dan Amerika. Selama tiga tahun tiap murid AMS (setara SMA) wajib membaca 25 judul buku sastra," kata Taufiq di sela-sela kegiatan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia yang diselenggarakan Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud di Jakarta, Kamis (20/10).
Dikatakannya dengan pola pengajaran seperti ini lahirlah para pemimpin bangsa, seperti Soekarno, Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Soemitro Djoyohadikusumo, Mohamad Natsir, dan seterusnya. "Tokoh-tokoh ini meskipun fasih berbahasa Belanda dan Inggris tetapi tetap nasionalis dan tidak menjadi antek Belanda, mereka memperjuangkan dan memproklamasikan kemerdekaan," kata Taufiq.
Ia mengatakan jumlah itu tidak kalah dengan di Eropa dan Amerika, seperti Amerika 30 buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku. Di Asia Tenggara Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku. Sementara kondisi ironis Indonesia saat ini adalah 0 buku.
Lebih lanjut dikatakannya pelajaran mengarang di negara lain itu setiap minggu satu karangan, bahkan di beberapa negara ada pelajaran mengarang itu setiap hari. Di Indonesia, pada masa Hindia Belanda diwajibkan seminggu sekali mengarang. "Tetapi keadaan sekarang di banyak sekolah, di sekolah-sekolah yang hebat, 5-6 kali mengarang dalam setahun, tetapi di mayoritas SMA di Indonesia yang jumlahnya 25.000 sekolah, pelajaran mengarang itu cuma sekali setahun yaitu ketika mau naik kelas," katanya.
Karena itu, sejak tahun 2006, Taufiq bersama sejumlah sastrawan giat membawa sastra ke sekolah-sekolah di Tanah Air karena merasa prihatin dengan pelajaran sastra di sekolah. "Buku sastra itu bukan saja wajib dibaca, tetapi disediakan di perpustakaan sekolah, dan saat ini yang diajarkan di SMA Indonesia terkait sastra adalah ringkasan. Jadi, novelnya Marah Rusli itu bukannya dibaca sampai tamat, tetapi hanya baca ringkasan atau sinopsisnya saja," tambahnya.