REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekuasaan Islam boleh saja tumbang di tanah Eropa, tetapi meminjam ungkapan Tufik Abdullah dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, orang Kristen menolak ajaran Islam dan bahkan mengusir umat Islam dari dua pintu masuk Islam ke Eropa, yakni Konstantinopel dari arah timur dan Andalusia dari arah Barat. Kendati demikian, Eropa tidak sanggup menolak pemikiran Islam dan peradaban orang Arab.
Mereka melanjutkan program pengembangan ilmu pengetahuan yang pada masa kejayaan Islam pernah mengalami puncak kemajuannya. Akan tetapi, orang Eropa tidak mau mengakui jasa besar Islam dalam memajukan peradaban dunia.
Dilansir dari Previte-Orton (1971), Dinasti Umayyah mewariskan tata dan sistem kenegaraan dalam peradaban Eropa. Selama periode Dinasti Umayyah, Arab menjadi bahasan tentang administrasi. Dokumen negara dan mata uang yang diterbitkan dalam bahasa Arab.
Dinasti Bani Umayyah menerapkan pemungutan pajak. Youssef M Choueiri dalam bukunya yang berjudul A Companion to the History of the Middle East menyebutkan, pajak ke pemerintah pusat dihitung dan dinegosiasikan oleh orang-orang perwakilan politik.
Pemerintah pusat dan lokal dibayar untuk layanan yang disediakan. Sistem ini juga diikuti oleh banyak kota-kota Kristen. Kota-kota tersebut juga menggunakan sistem perpajakan untuk menjaga gereja-gereja mereka dan menjalankan organisasi yang ada di agama mereka.
Sedangkan pada massa Dinasti Abbasiyah, puncak kegemilangan Islam tengah menemui titik klimaksnya. Selama lebih dari lima abad (750-1258) ilmu pengetahuan berkembang pesat. Bangunan peradaan Islam era Abbasiyah sangat diwarnai oleh pesatnya perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Menurut Vartan Gregorian dalam Islam: A Mosaic, Not a Monolith, pada masa Dinasti Abbasiyah banyak karya-karya klasik dari zaman kuno yang seharusnya telah hilang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, bahasa Turki, Ibrani, dan latin.
Pada masa ini terjadi pengumpulan literatur yang diperoleh dari Romawi Kuno, Cina, India, Persia, Mesir, Afrika Utara, Yunani, dan peradaban Bizantium. Pada masa ini terjadi kemajuan ilmu pengetahuan yang hampir di semua bidang, seperti astronomi, kimia, matematika, kedokteran, optik, tekstil dan sebagainya.
Sejumlah pemikir Abad Pertengahan dan ilmuwan yang hidup di bawah pemerintahan Islam memainkan peran dalam transmisi ilmu pengetahuan Islam ke Kristen Barat. Para cendekiawan Muslim sangat berkontribusi untuk membuat pemikiran-pemikiran klasik Aristoteles dikenal di Eropa Kristen.
Pada masa Dinasti Abbasiyah ini, pengembangan ilmu di bidang kedokteran juga mengalami kemajuan. Selama abad ke-9, telah terdapat lebih dari 800 dokter yang melakukan penemuan besar terkait anatomi tubuh manusia. Salah satu ilmuwan yang dikenal, yakni Ibnu Sina atau di dunia Barat dikenal dengan nama Avicenna. Al-Khalili Jim dalam The First True Scientist menyebutkan, karya Ibnu Sina memengaruhi penelitian ilmuwan Eropa selama Renaissance.
Selain di bidang kedokteran, Astronomi dalam Islam Abad Pertengahan diajukan oleh al-Battani yang meningkatkan ketepatan pengukuran presesi sumbu bumi.
Sheila Rabin dalam Nicolaus Copernicus: Stanford Encyclopedia of Philosophy menjelaskan, meskipun awalnya dikembangkan oleh orang Yunani, dikembangkan lebih lanjut oleh para astronom dan insinyur Islam, dan kemudian dibawa ke Eropa pada Abad Pertengahan.
Beberapa Ilmuwan Muslim dari masa Abbasiyah, yaitu al-Hajaj bin Yusuf, Muhammad nin Ibrahim al-Fazari, Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, AbuYusuf Ya'qub al-Kindi, al-Kindi, Abu Bakar ar-Razi, Abu Nasr al-Farabi, Ibnu Sina, Abu Raihan al-Biruni, dan Ibnu Maskawaih.