REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Cakupan air susu ibu (ASI) eksklusif di Indonesia baru mencapai angka 42 persen. Menurut Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Desintha Dwi Asriani, angka ini masih jauh dari harapan.
"Jumlah kelahiran di Indonesia 4,7 juta orang per tahun, sementara itu jumlah bayi yang memperoleh ASI eksklusif selama enam bulan bahkan hingga dua tahun, ternyata tidak mencapai dua juta jiwa," katanya di Kampus Program Doktoral Studi Kebijakan UGM, Sabtu (22/10).
Menurut Deshinta, jika dibandingkan dengan target WHO yang mencapai 50 persen, maka angka tersebut masihlah jauh dari target. "Memperlihatkan tindakan menyusui pada akhirnya memosisikan perempuan sebagai objek demi sebuah program besar yang digagas oleh pemerintah tentang kesejahteraan dan kesehatan, sehingga pada akhirnya menampilkan wacana baru dalam konteks praktek menyusui," tuturnya.
Menurut dia, seharusnya praktik menyusui menjadi praktik hak, bukan kemudian menjadi praktik konstruktif yang diterjemahkan dalam kata kewajiban. "Ketika ini dipahami sebagai hak, dan saat perempuan tersebut tidak bisa menyusui misalnya, maka dia akan mencari cara bagaimana agar bisa mendapatkan haknya untuk menyusui," ujar Desintha.
Selain itu, praktik menyusui bukanlah persoalan sederhana, sebab bukan sekadar memberi asupan nutrisi bagi bayi langsung dari payudara sang ibu. "Tetapi, ada banyak hal yang perlu untuk dinegosiasikan terutama bagi perempuan yang bekerja. Di antaranya, pendeknya masa cuti melahirkan, tidak ada sistem cuti menyusui, terbatasnya waktu istirahat, tidak ada fasilitas ruang laktasi, tidak punya lemari penyimpan ASI, faktor kelelahan, maupun persoalan kultural, dan malu jika memerah ASI di tempat bekerja," ungkap dia.