REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Seluruh wilayah Jawa cukup rawan terhadap ancaman bencana hidrometereologis. Bencana akibat perubahan iklim tersebut tidak hanya berisiko terjadi di pantai saja. Kondisi ini akan berdampak pada fenomena kependudukan.
Gelombang urbanisasai akan terjadi di daerah-daerah yang layak dihuni. Pengalaman empirik, orang cenderung mencari daerah yang aman untuk menyelamatkan diri. "Ini akan menggejala di Jawa, akan terus berkembang, dan ini harus diperhatikan," ujar Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadja saat berbicara dalam focus group discusission di Kantor Pusat Pengendalian Pembangunan Eko-Region Jawa, Sabtu (22/10).
Fenomena tersebut, menurut Sarwono, tidak bisa dicegah. Namun, kecenderungan demografi dengan motif survival ini harus menjadikan perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. Apalagi, saat ini gejala perubahan iklim sudah sangat jelas dan sangat terasa, terutama dari ketidakpastian cuaca dan musim yang kemudian menyebabkan banjir, longsor, kekeringan, maupun angin kencang.
Perubahan iklim akan diikuti pergeseran kondisi lainnya, seperti maraknya penyakit, gagal panen, dan konflik di masyarakat. Sarwono memprediksi masyarakat ke depannya akan cenderung berkumpul di wilayah-wilayah bebas bencana yang permukimannya kemudian berkarakter urban.
Sarwono menyerukan agar pemerintah merehabilitasi, merestorasi, dan melakukan upaya konservasi di wilayah rawan bencana. Wilayah ini juga harus dijadikan wilayah untuk menyimpan cadangan air dan sumber energi terbarukan. "Munculnya urbanisasi karena perubahan iklim harus dipandang sebagai gejala yang positif, yaitu menciptakan masyarakat urban yang bisa memenuhi kebutuhan pangan, air bersih dan energinya secara mandiri," katanya.